Kamis 22 Oct 2020 05:30 WIB

Pemimpin Ideal Menurut Ibnu Khaldun: Tak 'Bermuka Dua'

Ibnu Khaldun menilai pemimpin ideal jangan suka bermuka dua.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ibnu Khaldun menilai pemimpin ideal jangan suka bermuka dua. Memilih pemimpin (ilustrasi)
Foto: AHS
Ibnu Khaldun menilai pemimpin ideal jangan suka bermuka dua. Memilih pemimpin (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Kepemimpinan ideal menjadi salah satu topik yang dibahas Ibnu Khaldun dalam mahakaryanya, Muqaddimah. Dia pun membeberkan kriteria pemimpin yang baik.

Ibnu Khaldun menggariskan, kepemimpinan hanya akan ada bilamana terdapat keunggulan dalam diri individu-individu pemimpin. Berikutnya, keunggulan hanya akan muncul bilamana disokong al-asabiyah atau perasaan solidaritas. Seorang pemimpin tidak mungkin tampil ketika tidak ada orang-orang yang bersedia mematuhinya.

Oleh karena itu, kemampuan seorang pemimpin sejatinya diukur dari bagaimana rakyat mematuhi imbauannya. Apakah kepatuhan itu muncul dari rasa takut ataukah rasa sukarela untuk mencapai tujuan-tujuan luhur demi kebaikan bersama. 

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun merumuskan bahwa seorang pemimpin bisa saja dipatuhi tetapi pemimpin itu tidak bisa memaksa orang-orang untuk menerima kepemimpinannya. Keberterimaan demikian datang secara sukarela. Sebab, para pengikutnya melihat dalam diri pemimpin itu citra panutan, sebagaimana seorang anak memandang orang tuanya.

Menurut Ibnu Khaldun, kepemimpinan yang baik membutuhkan kebaikan sekaligus keteguhan hati untuk menjaga rakyat. Hal inilah yang agaknya membedakan Ibnu Khaldun dengan pemikir politik Machiavelli dari abad ke-15 M. Sebab, bagi  Ibnu Khaldun, untuk menjadi seorang pemimpin yang piawai tidak perlu bersikap lihai atau bermuka dua, melainkan lunak terhadap para pengikutnya.

Tujuannya adalah munculnya rasa cinta, baik dari diri pemimpin itu maupun rakyat terhadap pemimpinnya. Ketulusan memunculkan kharisma seorang pemimpin. Seperti kita tahu, selama di Afrika Utara dan Andalusia, Ibnu Khaldun menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana sulitnya sta- bilitas politik terwujud ketika pemimpin-pemim pin saling menjatuhkan satu sama lain. 

Di hadapan situasi kacau semacam itu, Machiavelli menulis II Principepada 1532 yang penuh nuansa sinisme dan sarkasme. Sebaliknya, Ibnu Khaldun secara jernih tetap meneguhkan pentingnya ketulusan dalam mem- bangun kepemimpinan yang stabil. 

 Pengalamannya menyaksikan kekacauan sosial-politik di Andalusia, Maroko, dan Tunis diperhadapkan dengan situasi kondusif dan cahaya peradaban Islam di Mesir. Semenjak di Mesir, Ibnu Khaldun mulai menyadari bahwa kemajuan masyarakat bergantung pada pribadi penguasa yang bijaksana, yakni mendukung kepemimpinan politik dan pendidikan ilmu pengetahuan sekaligus.

Dalam bidang politik, penguasa mesti menjamin stabilitas dan perlindungan sosial. Dalam bidang pendidikan, penguasa mampu merancang kebijakan-kebijakan yang berpihak pada solidaritas sosial (al-asabiyah) dan keadilan. Demikian catatan sejarawan Philip K Hitti (1968).

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement