Kamis 28 May 2020 05:55 WIB

Mengulik Suasana Perayaan Idul Fitri di Masa Perang

Di masa perang sudah ada ketupat tapi tanpa opor karena masih tergolong mewah.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Umat muslim melaksanakan sholat Idul Fitri
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Umat muslim melaksanakan sholat Idul Fitri

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Umat Muslim di dunia terutama Indonesia masih merasakan gegap-gempita perayaan Hari Raya Idul Fitri. Meski berada di tengah pandemi Covid-19, budaya silaturahim dan menikmati kuliner khas Lebaran masih dapat dijumpai di masyarakat.

Sekalipun berada di situasi memprihatikan, umat Islam nyatanya masih dapat menikmati perayaan Idul Fitri dengan bahagia. Situasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perayaan Lebaran di masa lampau. Lebih-lebih saat Indonesia berada di masa perang, baik di era kolonial Belanda, Jepang maupun revolusi kemerdekaan.

Dosen Sejarah di Universitas Negeri Malang (UM), Arif Subekti belum lama ini menerima video yang menayangkan shalat Id di 1945. Di video tersebut terlihat banyak masyarakat mengenakan pakaian serba putih.

"Ada yang pakai jas, ada yang pakai dasi, ada juga yang pakai jas saja. Tapi di situ belum ditemukan baju koko seperti sekarang," jelas Arif dalam kegiatan diskusi daring yang diadakan Heuristik, Senin (25/5) malam.

 

Arif mengatakan, suasana pelaksanaan shalat Id di 1945 agak bertentangan dengan data sejarah yang dimilikinya. Di masa Jepang, terdapat larangan penggunaan pakaian putih dan warna mencolok pada saat Lebaran.

Pakaian putih hanya boleh digunakan masyarakat saat menghadiri acara pemakaman. Namun di video yang diterima Arif, justru banyak masyarakat mengenakan warna tersebut. Hal ini mengindikasikan video tersebut diambil dalam situasi normal, bukan di waktu perang.

"Apalagi video itu juga ada salaman. Setelah shalat bersalaman, ya ada bersilaturahim intinya," ucap lulusan magister di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Arif juga memperoleh data lain mengenai suasana Lebaran di 1946 dari seorang pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Artikel pengajar tersebut mendeskripsikan bagaimana peristiwa perang di Surabaya. Tensi perang tidak langsung naik setelah 17 Agustus karena masih berada dalam suasana Ramadhan.

Menurut Arif, suasana puasa tidak membuat para pemuda langsung melakukan pergerakan. Dengan kata lain, persiapan logistik perang belum dilaksanakan seutuhnya saat itu. Pergerakan pemuda Indonesia mulai meluas di masyarakat setelah September 1946.

"Tapi secara umum bahwa perayaan Idul Fitri itu meriah. Ya itu tadi publik di video, meriah ada silaturahim. Ada vakansi ke tempat liburan, itu kebiasaan dari masa lalu," ucapnya.

Selain teks dokumen, lirik lagu dapat menjadi salah rujukan data Sejarah. Salah satunya terlihat pada lirik lagu "Selamat Lebaran" karya Ismail Marzuki di 1950-an. Lagu tersebut mendeskripsikan bagaimana kebiasaan masyarakat merayakan Idul Fitri di masa revolusi.

Lirik lagu Ismail Marzuki menjelaskan, masyarakat desa mendatangi kota untuk naik trem. Mereka berlibur bersama keluarga sambil menikmati suasana perkotaan. Situasi ini berbeda dengan kondisi sekarang di mana banyak masyarakat kota pulang ke kampung untuk merayakan Lebaran.

Sejauh ini, Arif mengaku, belum menemukan data pasti pelaksanaan shalat Id di masa perang. Namun untuk sholat lima waktu biasa, Arif mendapatkan informasi bahwa saat itu para tentara perang menerapkan shalat khauf. Khauf berarti sholat yang dilaksanakan dalam keadaan takut terutama saat perang.

"Jadi misal satu kompi tentara berperang itu sebagian shalat, sebagian berdiri lalu sebagian berjaga," katanya.

Serupa dengan saat ini, kuliner ketupat sudah menjadi tradisi Lebaran di masa perang. Bedanya, tidak ada jamuan opor daging ayam seperti sekarang. Sebab, kuliner ini masih menjadi makanan mewah sehingga jarang dikonsumsi rakyat pada umumnya di masa lampau.

Sejarawan Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia mengungkapkan, kondisi bahan makanan di era Jepang. Salah satu contohnya produksi beras di 1943 yang sempat menurun sehingga memaksa petani menyerahkan hasil panennya kepada Jepang. Hasilnya, petani hanya bisa mengonsumsi sedikit beras yang tersisa.

Produksi dan konsumsi bahan makanan di Indonesia meningkat di 1947 lalu memuncak pada 1949. Kesuksesan ini tercapai berkat program Rencana Produksi Tiga Tahun (Plan Kasimo) oleh Menteri Urusan Bahan Makanan, Ignatius Joseph Kasimo. Program ini bertujuan menanggulangi kekurangan pangan di masa awal kemerdekaan.

Plan Kasimo berhasil meningkatkan asupan kalori dan protein masyarakat dari 1.550 kkal dan 30 gram protein menjadi 1.800 kkal dan 59 gram protein per harinya. Asupan protein nabati dari beras dan makanan pokok lainnya mencapai tingkat tertinggi di 1949. Namun setahun kemudian mengalami penurunan drastis akibat rendahnya hasil panen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement