Jumat 25 May 2018 13:10 WIB

Fanatisme dan Radikalisme Bisa Diredam dengan Filantropi

filantropi inklusif dilakukan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras atau golongan.

Rep: mgrol105/ Red: Andi Nur Aminah
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin (kiri)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filantropi Indonesia (FI) menyerukan agar kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) bisa dimanfaatkan untuk merekatkan kembali kerukunan dan toleransi antarwarga di Indonesia yang mulai tercabik-cabik karena meruyaknya fanatisme dan radikalisme. Seruan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin.

Dia mengatakan, masyarakat maupun lembaga-lembaga filantropi dapat menghidupkan dan menggalakkan kembali praktik filantropi inklusif. Yaitu kegiatan berbagi dan menolong sesama tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras atau golongan tertentu.

Melalui kegiatan filantropi inklusif, masyarakat dilatih dan didorong untuk menghargai perbedaan dan kebinekaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, filantropi inklusif juga bisa menjadi solusi bagi masalah radikalisme dan terorisme yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Di bulan suci ini kegiatan filantropi berbasis ajaran agama (religious philanthropy) meningkat tajam khususnya filantropi Islam. Yaitu dalam bentuk penggalangan, pengelolaan dan penyaluran ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah). "Ramadhan dianggap sebagai momentum yang tepat oleh sebagian besar Muslim untuk beramal, karena beragam keutamaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya," ujar Hamid.

Penyaluran dan pendayagunaan ZIS yang dihimpun selama Ramadhan ini tidak hanya menyasar kepada kaum Muslimin sebagai penerima manfaat. Tapi juga pemeluk agama lain atau masyarakat umum.

Hamid menambahkan, tingginya tingkat kedermawanan masyarakat selama Ramadhan ini secara otomatis melejitkan jumlah penghimpunan sumbangan, khususnya untuk ZIS. "Jumlahnya yang meningkat tajam dibanding bulan-bulan lainnya," katanya.

Meski berbasis ajaran agama tertentu, dalam praktiknya, kegiatan berbagi dan menolong sesama ini dilakukan tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras atau golongan tertentu. Individu maupun lembaga filantropi, dia mengatakan, memberikan sumbangan dan bantuan kepada individu atau kelompok-kelompok lainnya tanpa diskriminasi, tanpa melihat latar belakang agama, suku atau golongan dari si penerima manfaat.

"Filantropi inklusif ini diyakini bisa berkontribusi dan berperan penting untuk meredam dan meminimalisir fanatisme, radikalisme dan intoleransi di Indonesia," ujar dia.

Namun, Hamid menyayangkan, praktik filantropi inklusif dalam beberapa tahun terakhir mulai menemui tantangan dan hambatan. Bahkan dia menilai mulai surut dan tak lagi dipraktikkan.

Munculnya penolakan dari individu dan kelompok tertentu membuat banyak pihak merasa terganggu dan tak lagi nyaman untuk memberikan sumbangan pada saudara-saudaranya yang berbeda keyakinan. Penolakan terhadap praktik filantropi inklusif ini, Hamid mengatakan, umumnya terjadi karena pemahaman keagamaan yang sempit dan keliru dalam memahami kegiatan tersebut.

"Faktor penghambat lainnya adalah ajang kontestasi politik (Pemilu dan Pilkada) yang membuat warga terpolarisasi dan menjadi fanatik, radikal dan intoleran terhadap orang lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik," tambahnya.

Oleh karena itu, FI mendorong agar praktik filantropi inklusif dihidupkan dan digalakkan kembali pada bulan Ramadhan ini. Praktik filantropi inklusif bisa jadi instrumen soft advocacy dalam meredam fanatisme dan radikalisme di Indonesia. "Promosi dan praktik filantropi inklusif khususnya di kalangan generasi muda juga bisa menjadi counter activity terhadap ujaran kebencian dan dan permusuhan yang belakangan marak karena menawarkan nilai-nilai yang humanis, welas asih, dan toleran," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement