Kamis 01 Feb 2018 09:01 WIB

Gerakan Zakat Indonesia, Tumbuh dan Besar Bersama

Urusan zakat sedianya memang tidak terlalu mendapatkan perhatian.

Petugas melayani pembayaran zakat di Gerai Dompet Dhuafa di Jakarta, Jumat (14/7).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Petugas melayani pembayaran zakat di Gerai Dompet Dhuafa di Jakarta, Jumat (14/7).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Direktur Mobilisasi ZIS Dompet Dhuafa, Bambang Suherman

Secara historis, gerakan zakat di Indonesia tumbuh dan membesar dari basis terkecil di masyarakat. Episentrumnya adalah masjid dan pesantren. Urusan zakat sedianya memang tidak terlalu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kolonial, sehingga membentuk pola yang semakin solid di masyarakat. Keengganan pemerintah kolonial untuk mengelola dana publik keagamaan saat itu dapat dimanfaatkan secara optimal oleh organisasi massa Islam yang eksis di awal abad ke-20 seperti Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama.

Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, langkah-langkah untuk menarik materi zakat, termasuk wakaf, ke ranah regulasi bukannya tak ada. Sepanjang dekade 60-an, terhitung beberapa upaya ini, baik di era Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Pada 1964, Kementerian Agama sempat menyusun rancangan undang-undang pelaksanaan zakat beserta peraturan pemerintah pengganti undang-undangnya. Tak ada kejelasan dari rancangan ini terutama saat peristiwa 1965 terjadi.

Perhatian pemerintah dan publik tersita pada persoalan stabilitas harga hingga pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia).  Pada 1968, upaya mengatur persoalan zakat ini kembali mencuat.  Peraturan Menteri Agama nomor 4 tahun 1968 dirilis dan mengatur tentang pembentukan Badan Amil Zakat. Pada tahun yang sama, disahkan pula Peraturan Menteri nomor 5 tahun 1968 yang menyatakan Baitul Maal berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat. Atas desakan banyak pihak, dikeluarkan Peraturan Menteri nomor 65 tahun 1968, yang membatalkan pembentukan Baitul Maal di desa-desa.

Baru pada 5 Desember 1968, Gubernur DKI saat itu Ali Sadikin meresmikan organisasi pengelola zakat yang dikelola pemerintah, yang dikenal dengan  Badan Amal Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI. Metode pengumpulannya sendiri dengan cara memotong gaji para pegawai negeri Pemerintah DKI. Metode tersebut tidak berhasil menanamkan pentingnya berzakat, melainkan menjadi semacam kepatuhan pegawai terhadap pemerintah.

Sejatinya, eksistensi lembaga amil zakat baru mencuat saat dimulai dari bawah, bottom-up, yaitu melalui saluran-saluran masyarakat sipil. Musim kebangkitan gerakan zakat melalui masyarakat ini tercatat pada rentang 1980-1999. Organisasi ini berasal dari kesadaran kolektif berbasis komunitas seperti serikat karyawan BUMN, yayasan sosial, hingga kesamaan ideologis.

Regulasi, tantangan nyata gerakan zakat

Paradigma kekuasaan terhadap zakat Indonesia cenderung sempit memandangnya sebagai peluang yang bisa ditarik atas nama negara melalui instrumen-instrumen yang dibuat oleh negara sendiri. Logika ini cenderung terlalu menyederhanakan praktek lapangan. Jika pemerintah ingin membesarkan gerakan kebaikan ini, maka sebaiknya yang dilakukan adalah mengkaji lebih dalam dinamika tumbuhnya zakat di masyarakat.

Pemerintah dapat melihatnya sebagai salah satu ‘jalan keluar’ dari banyak permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah itu sendiri. Di masyarakat, gerakan zakat selama ini telah menjadi sumberdaya bagi masyarakat untuk menggerakkan dan menyelesaikan banyak hal yang sedianya adalah tanggung jawab pemerintah.

Jika pemerintah memiliki niat yang tulus untuk mengembangkan gerakan zakat, maka yang perlu dilakukan memperbesar pemberian insentif atas nama negara. Zakat dipungut bukan hanya dengan memotong penghasilan kena pajak, tetapi memotong beban tanggungan pajak dari dari masyarakat, khususnya ASN (Aparatur Sipil Negara). Jika cara ini yang ditempuh, maka secara otomatis akan memperbesar dana zakat yang terhimpun.

Pada aspek yang lain, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dengan semangatnya untuk mengatur dan menata cenderung mereduksi besarnya dinamika lembaga zakat di ruang publik. Niat dari produk hukum ini bagus, tapi ada persoalan mendasar yang diabaikan bahwa berzakat itu adalah amal beragama yang fundamental karena masuk dalam rukun.

Sebagai contoh, ketika muzakki menjadi ragu untuk menyalurkan dana zakat bahkan kepada lembaga yang secara kultural sejak lama menerima penyaluran mereka. Motif dari muzakki adalah kekhawatiran mereka bahwa lembaga zakat tersebut tidak mendapatkan rekomendasi berdasarkan Undang-Undang (UU). Aspek penataan adalah satu hal, aspek menumbuhbesarkan semangat berzakat adalah hal yang tidak kalah penting. Pada kondisi tersebut, kehadiran UU Zakat ini akhirnya menjadi tantangan besar bagi lembaga amil zakat hari ini.

Regulasi yang membatasi berpotensi bahkan sampai mengecilkan kearifan praktek zakat yang ada di seluruh tanah air. Penghimpunan zakat terbatasi, pada saat yang sama permasalahan kemiskinan tetap eksis – bahkan relative semakin kompleks seiring perkembangan jaman. Masyarakat pasti dapat beradaptasi, agar persoalan mustahik tetap bisa dibantu. Akan tetapi apabila zakat tidak terhimpun, maka yang hilang adalah sumberdaya. Sederhananya, ada “energi besar” melalui gerakan zakat yang berpotensi tersia-siakan dalam membantu mengatasi persoalan kemiskinan di masyarakat.

Tabayyun terhadap sejumlah pasal di UU Zakat ini bukannya tak ada. Pada 2012, uji materil diajukan oleh Koalisi Masyarakat Zakat. UU Zakat dianggap mengebiri pemberdayaan masyarakat sipil dengan menempatkan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) sebagai lembaga superbodi yang bertugas sebagai koordinator, perekomendasi izin operasi, pengawas hingga bertindak juga sebagai operator. Selain itu, peninjauan kembali UU Zakat ditujukan pada adanya kemungkinan kriminalisasi kepada pihak-pihak yang dianggap memungut zakat dari muzakki secara “liar”. Faktanya, sebelum UU tersebut hadir hingga hari ini, banyak pengelola dana Zakat tradisional yang luput dari radar pemantauan pemerintah.

Upaya konstitusional itu memang tidak mendatangkan putusan yang menyenangkan bagi penggugat. Semangat “mengatur” dan “menata” lembaga-lembaga zakat masih berpotensi terjadi. Jika “tabayyun konstitusional” masih terbentur dinding yang tinggi, maka ada jalan lain yang bisa dilakukan secara bersama-sama, yaitu “perlawanan sosial” dengan memperkuat hubungan di antara lembaga amil zakat melalui prinsip setara, sharing (berbagi), dan saling berkolaborasi.

Setara, sharing, dan kolaborasi dalam gerakan zakat

Kerja gerakan zakat bukan lagi berorientasi pada angka dan transaksi. Prinsip sebuah gerakan melewati batas numerik yang mereduksi cita-cita luhur untuk mensyiarkan zakat sebagai ibadah fundamental bagi umat. Jika kerja syiar dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka akan linear dengan angka-angka yang hendak dicapai.

Meski regulasi terus berpotensi mengatur pertumbuhan lembaga zakat, namun zakat sebagai gerakan harus terus tumbuh. Caranya? Tak lain adalah menempatkan gerakan zakat sebagai bagian dari syiar besar kepada umat Islam, khususnya di Indonesia.

Pemahaman publik yang relatif kurang tentang persoalan zakat ini adalah tanggung jawab dari gerakan zakat. Seluruh pegiat zakat harus mengambil peran untuk menyebarkan pemahaman yang benar. Jalan terbaik adalah melalui edukasi yang efektif dan saling menebar jaring pengetahuan. Gerakan syiar pengetahuan dan amal zakat tak lagi bertumpu pada konsep fundraising, melainkan mengganti tujuan utamanya menjadi friendraising, dari konsep pengumpulan sumber daya menjadi konsep jaring pertemanan.

Pertemanan yang tulus harus dimulai dengan menempatkan diri dalam hubungan yang setara. Dalam konteks lembaga amil zakat, tidak ada organisasi yang ‘besar’ sehingga dapat melakukan subordinasi dengan organisasi lainnya. Meski secara kelembagaan organisasi A memiliki sumberdaya dan aset yang lebih besar dari organisasi B. Organiasasi yang besar membuka dan mengembangkan ruang interaksi yang luas untuk membesarkan yang kecil.

Posisi pertemanan yang setara inilah yang kemudian bisa memberikan keleluasaan antar lembaga untuk saling berbagi pengetahuan dan inspirasi. Tahap inilah yang dinamakan sharing. Lembaga zakat yang besar secara sumberdaya dan aset pada umumnya telah memiliki standar kerja tertentu yang bisa dijadikan acuan. Thus, lembaga zakat dengan sumberdaya yang lebih kecil dapat belajar darinya. Sedangkan lembaga zakat yang lebih besar terus membuka diri sebagai ruang belajar bagi lembaga lain terutama dalam hal manajemen pengelolaan zakat dan penguatan sumberdaya.

Sehingga standar yang lebih baik dibagikan kepada lembaga lain yang standarnya masih kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki standar. Hubungan inilah yang kemudian dekat dengan konsep ‘kemitraan’. Dari sinilah, maka, prasangka ‘yang besar’ mengakuisisi ‘yang kecil’ dapat terus dikikis.

Interaksi yang produktif dalam saling berbagi pengetahuan, membuka ruang kolaborasi lebar-lebar. Antar lembaga amil zakat akan semakin mudah untuk saling belajar, bertukar ilmu, dan menebar inspirasi dalam pengelolaan zakat ini. Sinergi ini tentu tidak terbatas pada lembaga amil semata, melainkan juga dengan lembaga-lembaga kemanusiaan lain baik lokal, nasional, hingga internasional.

Dalam jangka panjang, sinergi pengelolaan zakat diharapkan mampu memetakan (mapping) tema-tema pengelolaan kemiskinan setiap lembaga amil zakat. Lembaga-lembaga amil diharapakan mampu berkolaborasi dalam melakukan penilaian (assesment) bersama untuk mengukur kebutuhan sumber daya lalu ditetapkanlah klaster tematik programnya, misal pendidikan, kesehatan, ekonomi, bahkan di ruang respons bencana dan konflik kemanusiaan. Lembaga-lembaga amil nantinya bisa memilih salah satu atau lebih klaster mana yang akan mereka garap dalam ruang kemiskinan tersebut.

Gerakan zakat harus tumbuh dengan semangat berbagi; berbagi pengalaman, pengetahuan, data-informasi, lalu bersama-sama menjadi besar dalam arus besar kebaikan. Menyambut Musyawarah Nasional Forum Organizasi Zakat, saya berharap semangat untuk tumbuh bersama dan saling membesarkan bisa menular di antara para amil. Setara, sharing dan kolaborasi menjadi semakin kuat jika diperankan oleh aliansi bersama, dan Forum Zakat sangat produktif mengelolanya.  Selamat menguatkan gerakan zakat Indonesia. Selamat menjalankan Munas!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement