Senin 15 Jan 2018 20:03 WIB

Ini Esensi Wakaf Menurut Ketua BWI

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) M Nuh dan Founder ESQ Ary Ginanjar Agustian dalam acara launching Wakaf Investasi Selamanya (WIS) dan gerakan Indonesia Menulis Al-Quran (IMA) di Menara 165, Jakarta Selatan, Rabu (10/1).
Foto: Republika/Muhyiddin
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) M Nuh dan Founder ESQ Ary Ginanjar Agustian dalam acara launching Wakaf Investasi Selamanya (WIS) dan gerakan Indonesia Menulis Al-Quran (IMA) di Menara 165, Jakarta Selatan, Rabu (10/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah wakaf mungkin belum begitu familiar di tengah masyarakat Indonesia. Pemahaman masyarakat tentang wakaf selama ini juga kerap diartikulasikan sebagai bentuk benda yang sifatnya tidak bergerak seperti sebidang tanah ataupun sebuah bangunan. Padahal, sebenarnya bisa dikelola secara produktif.

Badan Wakaf Indonesia (BWI), selaku lembaga independen yang lahir berdasarkan amanat UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, memiliki tanggung jawab dan peran yang besar dalam memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Ketua BWI, M Nuh menjelaskan,  sebenarnya esensi wakaf adalah bagaimana caranya agar wakaf itu bisa menciptakan nilai tambah. "Kalau kita cermati nilai wakaf itu esensinya bagaimana caranya kita bisa menciptakan nilai tambah. Kalau modelnya seperti itu, maka saya teringat kisah dari Kodak sama Nokia," ujarnya di Menara 165, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Nuh menuturkan, pada tahun 1990 Kodak sempat mengalami kejayaannya dan mempunyai harga saham yang besar. Demikian juga dengan Nokia, pada  2000-an juga mampu menjadi simbol kemajuan tekonologi dan kesejahteraan seseorang.

Namun, keduanya kemudian tenggelam karena kalah saing dengan perusahan lainnya. Menurut Nuh, keduanya tenggelam karena tidak melakukan inovasi sesuai perkembangan zaman. "Kalau kita pelajari kenapa hal itu bisa terjadi? paling tidak kalau saya cermari ada dua kata kunci. Yaitu karena tidak ada adaptasi dan inovasi," ucap Mantan Mendikbud ini.

Nuh mengatakan, bahwa siapa yang tidak mampu beradaptasi dan berinovasi dengan perubahan zaman, maka nasibnya akan tenggelam seperti Kodak dan Nokia. Karena itu, menurut dia, pengelolaan wakaf juga harus dilakukan dengan inovatif.

"Karena itu, tantangan terberat bagi pengelola wakaf atau masyarakat perwakafan itu adalah bagaimana caranya kita membaca perkembnagan zaman sekarang ini, termasuk trennya ke depan," kata Nuh.

Salah satu lembaga wakaf yang baru-baru ini melakukan langkah inovatif adalah Yayasan Wakaf Bangun Nurani Bangsa (YWBNB) dan ESQ 165. Pada Rabu (10/1) lalu, YWBNB meluncurkan program Wakaf Investasi Selamanya (WIS) di Menara 165, Jakarta Selatan, Rabu (10/1).

Program ini merupakan inovasi dari gerakan optimalisasi wakaf produktif. Keunggulan program ini yaitu meski deposito atau tabungan nol, namun manfaat tunai akan terus diterima oleh ahli waris sampai tujuh turunan.

Dalam peluncuran program ini, hadir Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) M Nuh, Founder ESQ Ary Ginanjar Agustian, Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis, serta 11 Direktur bank dan salah satu perusahan asuransi di Indonesia.

"Gerakan wakaf seumur hidup, yaitu di mana dengan Rp 100 ribu maka umat bisa berwakaf. Dengan wakaf itu, dana wakafnya akan disalurkan kepada fakir miskin dan juga kepada investasi-investasi di mana keuntungannya akan terus didapatkan. Bukan hanya untuk pribadi tapi seumur hidup dia," ujar Ary kepada Republika.co.id usai meluncurkan program WIS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement