Senin 18 Jul 2016 12:37 WIB

Gerakan Devisa Mudik

Baznas
Baznas

Oleh : Arifin Purwakananta| Direktur Amil Zakat Nasional BAZNAS

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak sekadar peristiwa kultural momentum ekonomi yang tidak bisa dibilang kecil dampaknya bagi masyarakat. Dalam migrasi besar-besaran dari kota ke desa-desa, Bank Indonesia (BI) mencatat kebutuhan dana Lebaran pada 2015 sebesar Rp125,2 triliun. Sedangkan untuk 2016, perkiraan bank sentral tentang kebutuhan selama Ramadan dan Lebaran bisa mencapai Rp160,4 triliun. Jumlah yang sangat cukup untuk menggerakan perekonomian masyarakat di desa-desa.

Meski demikian, dana yang dibawa ke desa ternyata hanya 29 persen, padahal dana tersebut bisa menjadi alat pengungkit pemberdayaan ekonomi. Dana trilyunan itu dipakai oleh pemudik untuk berbelanja barang-barang konsumsi di kota-kota besar dan perusahaan-perusahaan besar. Ini artinya, mudik belumlah menjadi alat pemberdayaan ekonomi desa. Namun masih menjadi alat kapitalisme dalam memperbesar “kue” ekonomi mereka. Uang tetap beredar di daerah perkotaan dan dinikmati oleh pelaku ekonomi skala raksasa.

BAZNAS menginisiasi Gerakan Devisa Mudik, sebuah gagasan untuk mendorong adanya perubahan sosial dalam moment mudik. Sehingga mudik bukan dipandang sebagai suatu yang konsumtif melainkan suatu momen nasional yang produktif. Gerakan ini memberikan pesan produktivitas dengan berbagai gagasan yang mengarahkan mudik sebagai alat untuk memberdayakan desa.

Salah satu gagasannya adalah mendorong para pemudik menyimpan dana mudiknya untuk dibelanjakan di pasar-pasar rakyat di desa dan sentra produksi umat. Para pemudik didorong untuk menahan dananya tidak dihabiskan untuk berbelanja di di kota-kota besar. Berbagai barang kebutuhan Ramadan dan Lebaran yang biasanya sudah dibawa dari kota, dapat diganti dengan berbelanja di desa dan dibawa pulang setelah Lebaran ke kota masing-masing.

Intinya, gerakan ini mendorong pemudik berbelanja lebih banyak di desa-desa, menggunakan infrastruktur transportasi desa, ketimbang pembelian belanja-belanja di kota dan dibawa pulang ke desa. Harapannya devisa yang dibelanjakan di desa dapat menambah ekonomi di desa dan memutar perekonomian di desa lebih baik.

Gerakan ini juga diharapkan dapat mendorong filantropi desa dan membuatnya lebih produktif. Selama ini, dana-dana yang mengalir ke desa masih dalam bentuk barang konsumsi atau membagi-bagikan uang dalam bentuk angpau bagi-bagi sedekah. Hal ini sesungguhnya bisa didorong, digeser menjadi hal yang lebih baik yaitu program investasi di desa. Dengan cara ini,bagi-bagi sedekah yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat bisa berubah menjadi

pendorong perkembangan ekonomi masyarakat desa.

Caranya yaitu mendorong pemudik tidak sekadar memberikan uang sedekahnya dalam bentuk sedekah konsumtif tetapi dengan menitipkan dananya dalam bentuk investasi usaha kecil seperti beternak ayam, lele, kambing yang kemudian dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat desa. Bisa juga usaha warung, koperasi dan lainnya.

Dengan demikian, Gerakan Devisa Mudik bisa mendorong agar filantropi desa berupa zakat, infak dan sedekah lebih tepat sasaran pada hal-hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat dan bermanfaat bagi pengembangan desa. Kami berharap gerakan ini bisa menggerakkan perubahan sosial, sebuah dampak kepada pemberdayaan desa.

Mudik haruslah menjadi sesuatu yang produktif. Mudik yang konsumtif tentunya hanya menjadi pemborosan nasional. Sebaliknya, jika mudik menjadi suatu hal yang produktif maka mudik menjadi berkah bagi pemudik, desa yang dikunjungi dan perekonomian nasional pada umumnya.

Kami berharap gagasan ini bisa memicu sebuah diskusi besar tentang kebangkitan ekonomi desa melalui momen mudik. Gerakan ini juga bisa menginspirasi kita untuk mencari cara pemberdayaan desa-desa di seluruh Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement