Kamis 12 Nov 2015 06:40 WIB

Den Haag: Mengingat 1965, Melupakan Westerling!

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Raymond Westerling
Foto: flickr
Raymond Westerling

"Mengadili Indonesia soal kasus 1965 di Den Haag…?” Ungkapan spontan dari sejarawan Anhar Gonggong langsung muncul ketika diminta pendapatnya soal digelarnya pengadilan Kasus Pembunuhan 1965 di Den Haag, Belanda, beberapa hari lalu. Tanpa basa-basi ‘khas’ orang Bugis, dia mengatakan bila ada orang Indonesia iikut di pengadilan tersebut maka tindakannya jelas merupakan sebuah ‘kebodohan sejarah dan sangat tidak nasionalis.

 "Apa tidak ingat berapa banyak rakyat kita dibunuh pada zaman penjajahan Belanda. Apa tidak ingat peristiwa pembantaian warga Sulawesi Selatan oleh Westerling. Kalau kasus 1965 mereka ribut, mengapa soal pelanggaran HAM yang mereka lakukan malah bungkam,’’ ujar Anhar lagi.

 Tak beda dengan peristiwa kasus pembunuhan pengikut PKI pada 1965, rakyat Sulawesi Selatan (kini juga termasuk wilayah Sulawesi Barat) mengingat betul apa yang dilakukan komandan pasukan khusus Belanda Kapten Raymond Pierre Paul Westerling alias si Turki yang lahir di Istanbul 31 Agustus 1919. Ribuan orang ditembak mati oleh anak buahnya demi memecah keinginan kuat rakyat di Sulawesi Selatan agar mau mendukung pembentukan negara boneka Belanda, Negara Indonesia Timur.

Bahkan, sebelum melakukan pembunuhan masal di tanah Sulawesi, pasukan Westerling yang menasbihkan dirinya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga melakukan pembantaian di sekitar Bandung. Tak beda dengan tujuan aksi teror di ‘tanah Bugis’ tujuan Westeling melakukan pembantain massal adalah untuk menurunkan mental para pendukung republik.

Yang leibih penting lagi, perilaku biadab itu ketika dilakukan di Jawa Barat juga bertujuan memancing pasukan Siliwangi yang dikomandani AH Nasution mau ke luar dari persembunyian gerilyanya. Tapi, teror Westerling tak dilayani oleh para komandan Siliwangi karena sadar bila berhadapan secara langsung, persenjataan mereka tak akan mampu mengimbangi kekuatan pasukan khusus Belanda tersebut.

Nah, meluasnya aksi teror dan pembunuhan yang dilakukan pasukan Westerling pada saat itu pun jelas mendapat perhatian serius para pemimpin RI yang tinggal dan menetap di ibu kota negara Yogyakarta. Catatan arsip berita yang dtulis Antara pada saat itu terlihat jelas adanya ketakutan mendalam dan menyebar oleh tindakan Westerling.

Pihak pemerintah di Yogyakarta membuat berbagai antisipasi serta himbauan untuk mencegah merembesnya teror Weseterling, sehingga dijaga betul agar jangan sampai memakan korban petinggi negara. Di perbatasan kota Yogyakarta, misalnya, pasukan TNI memasang penjagaan khusus untuk mengantisipasi penyusupan pasukan mereka. Semua elite RI, seperti Sukarno, Hatta, dan Panglima Besar Sudirman saat itu memasang sikap waspada serta paham bahwa ancaman terror pembunuhan dari Westerling bisa muncul sewaktu-waktu.

"Kahar, berapa yang mati?’’ begitu tanya Presiden Sukarno kepada Kahar Muzakar, pengawalnya yang berasal dari Makassar. Saat itu, di Yogyakarta berita pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Westerling sudah tersebar luas. Tapi, pemerintah belum tahu dengan pasti berapa banyak jumlah korbannya.

Mendengar pertanyaan Bung Karno, Kahar berpikir sejenak. Karena juga belum bisa menjawab, dia kemudian  meminta izin kepada presiden untuk mencari tahu berapa banyak korban pembantaian Westerling yang terjadi di kampungnya.

Ketika melapor kembali ke Presiden Sukarno, Kahar menyebut angka 40 ribu orang. Sukarno pun terkejut karena jumlah korbannya banyak sekali. Sesaat setelah mendengar kabar mengenai jumlah rakyat yang meninggal dunia, Presiden Sukarno pun segera memrintahkan agar segera digelar upacara khusus untuk memperingati tragedi pembantaian massal rakyat Sulawesi Selatan oleh Westerling yang terjadi pada pengujung 1946 hingga beberapa bulan pada awal 1947.

Dalam sebuah perbincangan di antara perjalanan dari Fakfak menuju kepulauan Raja Emat di Papua Barat, Anhar kepada Republika mengatakan, mengingat betul peristiwa pembantaian Westerling itu.

’’Banyak di antara kerabat saya yang menjadi korban dari tindakan biadab itu!” kata Anhar Gonggong.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement