Ahad 04 Feb 2018 13:26 WIB

Fatimah Berliana Menjawab Ujian dengan Syukur dan Sabar

Saat sakit, seakan ada yang membisikkan untuk ikhlas dan berserah diri pada Allah.

Rep: Dea Alva Soraya / Red: Agus Yulianto
 Muslimah mualaf (ilustrasi).
Foto: Reuters/Olivia Harris/ca
Muslimah mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Ujian adalah sahabat hidup bagi Fatimah Berliana Monika Purba. Monik pertama kali menyadari itu saat memantapkan diri memeluk Islam demi pria yang dicintainya. Pertentangan dari keluarganya dan pihak kekasih dia hadapi. Semua demi pria yang dicintainya.

Namun, kalimat syahadat yang diucapkan Monik ternyata butuh diuji. Sang kekasih yang selama ini menjadi alasannya untuk pindah agama berkhianat. Dia hendak menikahi perempuan lain. "Lemas badan saya, bingung harus bagaimana, dunia bagai runtuh saat itu. Saya sebagai mualaf yang masih lemah imannya tidak menyangka hal itu akan terjadi dan itu ujian keimanan terbesar saya setelah memutuskan memeluk Islam," kata Monik saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (30/01).

Ujian pertama Monik untuk bersabar tidak mudah. Fisiknya ikut merasakan perihnya hati. Berulang kali Monik harus keluar masuk rumah sakit karena kondisi tubuhnya. Bukannya menyerah, Monik justru semakin mengerti bahwa apa yang dilaluinya adalah bukti kecintaan Allah padanya. Ujian itu menguatkan pendiriannya sebagai seorang Muslimah sejati. Syahadahnya tak sekadar cinta kepada makhluk. Dia menjawab ujian itu dengan syukur dan sabar.

"Saat sendiri di rumah sakit, seakan ada yang membisikkan untuk ikhlas dan berserah diri pada Allah. Keluar dari rumah sakit, saya berusaha hidup normal dan menyibukkan diri dengan mengikuti pengajian, dan belajar membaca Alquran ke berbagai guru," ujar Monik.

Seiring berjalannya waktu, Monik berkesempatan untuk memulai hidup baru. Fahmi Hamim Dereinda mengutarakan keinginannya untuk meminang Monik yang saat itu baru memeluk Islam selama kurang lebih dua tahun. Tak menunggu waktu lama, Monik memutuskan mengarungi bahtera rumah tangga. "Alhamdulillah, saya terima lamarannya tanpa proses pacaran dan saya hidup bahagia dengan kedua anak laki-laki kami," kata dia yang sudah menempuh 12 tahun hidup berumah tangga.

Hidup Monik masih diuji. Anak pertamanya, Yusuf Muzafar Dereinda (11 tahun), mengidap kelainan bawaan pada usus besar yang disebut hirschprung. Satu penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat lemahnya pergerakan usus karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Kelainan ini membuat sistem pembuangan Yusuf tidak normal. Yusuf harus menumpuk kotoran di tubuhnya. Perut Yusuf membuncit.

Sang buah hati berisiko mengalami radang usus, bahkan kanker usus. Tak kuasa melihat keadaan putranya, Monik dan Fahmi akhirnya mengunjungi banyak rumah sakit untuk menyembuhkan Yusuf. Perjuangan ini menyadarkan Monik tentang keajaiban dari air susu ibu (ASI). Asupan ASI menjadi salah satu alasan Yusuf dapat bertahan di tengah kondisinya saat itu. Penderitaan Yusuf akhirnya dapat berkurang setelah dilakukannya operasi pemotongan usus besar yang selama ini bermasalah.

Monik lantas menggali lebih jauh tentang keajaiban ASI me alui suatu komunitas bernama Yayasan Orang tua Peduli (YOP). Dalam komunitas ini, orang tua dapat mendapatkan edukasi dan pelatihan untuk menjadi smart parent.

 

"Setelah menjalani pelatihan dan pendidikan selama dua tahun mengenai laktasi, akhirnya saya memutuskan untuk menyampaikan edukasi tersebut kepada orang lain yang mengalami permasalahan seperti saya. Namun, sulit karena saya tidak memiliki latar belakang medis," ujar Monik.

Tidak menyerah pada keadaan, Monik pun mencoba untuk mencari akal agar dapat membagi ilmunya kepada orang lain. Salah satunya dengan menjadi konselor menyusui. Profesi ini ternyata tidak harus memiliki latar belakang medis. Monik pun memperdalam pemahamannya tentang laktasi melalui buku, latihan, hingga praktik langsung dengan cara pendampingan ibu hamil dan menyusui.

Monik dan kedua anaknya akhirnya pindah ke Amerika Serikat untuk mendampingi suami. Di sana Monik tak berhenti menjadi konselor. Dia bahkan bergabung dalam La Leche League (LLL), yaitu organisasi pendukung ibu menyusui terbesar dan tertua di dunia. Monik semakin mengembangkan sayapnya sebagai seorang konselor menyusui setelah resmi diangkat sebagai leader LLL perwakilan Indonesia.

Ujian kembali mendera M nik. Kesibukannya sebagai konselor ternyata kian melelahkan. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Saat menjalani pemeriksaan medis, Monik didiagnosis menderita autoimun bernama Antiphospo lipid syndrome (APS), kondisi pembekuan darah yang dapat menyebabkan terjadinya penggumpalan dan kerusakan sejumlah organ. Penyakit ini membuatnya harus keluar masuk rumah sakit dan menjalani banyak pengobatan yang juga menguras uang.

Penyakit yang menyerang organ tubuh berkelenjar air ini mebuat Monik tidak dapat mengeluarkan air mata, bahkan air liur. Bukan hanya itu, pembengkakan di sejumlah bagian tubuh juga mulai terjadi. Tak hanya itu, penyakit ini membuat Monik cepat mengalami kelelahan ekstrem hingga tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Hal ini membuat siklus hidupnya serupa dengan kelelawar yang lebih banyak beravitas di malam hari dibandingkan siang hari. "Saya sering insomnia, makanya untuk menjaga kondisi agar bisa tetap beraktivitas, saya harus banyak tidur di pagi dan siang hari," kata dia.

Keadaannya ini tentu juga berdampak pada keluarga kecilnya. Dia juga mengaku sangat merasa bersalah kepada kedua anaknya. Meski begitu, dia meyakini bahwa apa yang dialaminya saat ini tak lain adalah ujian dan momen yang diberikan Allah untuk meneguhkan keimanannya dan lebih mendalami makna ikhlas dan sabar.

"Saya sadar kalau keadaan saya sudah berbeda dan yang saya perlu lakukan adalah menerimanya dengan ikhlas. Ternyata itu sangat efektif dan membuat saya yakin kalau apa yang saya jalani saat ini adalah ujian untuk senantiasa bersyukur dengan keadaan saya," ujar dia. n ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement