Rabu 10 Jan 2018 05:07 WIB

Huda Hasler: Islam Membuatku Lebih Nyaman

Rep: Hasanul RIzqa/ Red: Agung Sasongko
Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persepsi negatif tentang Islam yang selama ini terbangun di Barat ternyata jauh dari kebenaran. Pergaulan telah membawa Has ler menuju jurang kemak siatan. Minuman keras menjadi hidangan wajib di setiap perjumpaan akhir pekan. Wanita berdarah Jerman ini kerap menghabiskan akhir pekan bersama teman-temannya sambil bermabukmabukan. Namun, nurani tak pernah berbohong.

Sekian lama menghabiskan akhir pekan penuh dosa, hati nuraninya dipenuhi kegelisah an. Muncullah pertanyaan-perta nyaan, apakah harus selalu bermabuk-mabukan? Sampai kapan harus menenggak alkohol? Adakah cara lain menghabiskan akhir pekan yang lebih konstruktif? Semua pertanyaan itu membuatnya gelisah.

Hasler kemudian mencoba menemukan jalan hidup yang berbeda. Dia ingin menghilangkan kegelisahan itu, tetapi bagaimana caranya? Kebingungan membuatnya menutup diri.

Hasler berusaha keras untuk menemukan arti kehidupan. Namun, selama bertahun-tahun masa pencarian dia belum menemukan apa makna hidup. Adakah kekuatan lain yang dapat menenangkan batin? Ajaran apakah yang dapat mengarahkannya kepada ketenangan? Seperti apa ajaran itu?

Pekerjaan di Dubai Hasler menyibukkan diri dengan bekerja di luar negeri. Dia berpetualang mencari pengalaman yang membuat dirinya makin matang. Saat berusia 30 tahun dia mulai memikirkan untuk menetap di satu tempat.

"Saya kemudian pulang ke rumah dan men cari pekerjaan, tetapi saya tak juga menemukan pekerjaan yang cocok," kata dia. Dia menyerah untuk mencari pekerjaan. Hasler memutuskan pergi berlibur ke Dubai. Setelah dua pekan di negeri yang didirikan Syekh Zayed, dia mendapat tawaran pekerjaan. Bukan disambut dengan kebahagiaan, tawaran itu justru direspons dengan kegelisahan dan ketakutan.

Ketika itu masyarakat Barat dibutakan oleh Islamofobia yang merebak cepat, terutama setelah serangan 11 September yang menghancurkan gedung World Trade Center (WTC), Amerika Serikat. Islam, termasuk di dalamnya negeri-negeri yang penduduknya mayoritas memeluk Islam, selalu diidentikkan dengan radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme.

Orang tua Hasler di Berlin mengkhawatirkan putrinya jika terus menjalani kehidupan di Timur Tengah. Mereka selalu memberikan saran untuk kembali ke tanah kelahiran. Bagi mereka, Hasler lebih baik bekerja dan membangun pergaulan di negeri sendiri.

Namun, Hasler memiliki pemikiran berbeda. Dia memandang Islam tidak dengan sinis. Islam bukanlah hal yang baru baginya. Sebab, dia tumbuh dalam keluarga yang salah satu anggotanya adalah Muslim. Kakak laki-lakinya memeluk Islam setelah bertemu dan menikah dengan wanita Muslim asal Turki.

Kehidupan saudaranya yang Muslim menginspirasinya untuk lebih jauh me ngenal Islam. Hasler mencari tahu bagaimana perkembangan Islam, seperti apa ajarannya, apa yang membedakannya dengan agama lain. Yang paling utama adalah bagaimana bisa Islam berkembang pesat dan menjadi peradaban dunia.

Hasler pun pergi ke pusat Islam untuk mempelajari Islam yang sebenarnya, bukan hanya percaya kepada per sepsi. "Saya pergi ke pusat Islam dan menghadiri sesi ceramah. Saya juga membaca beberapa buku," tutur dia.

Namun, selama berada di sana, tidak ada yang dapat meyakinkannya untuk memeluk Islam seperti saudaranya. Dia pun datang ke sebuah negara Islam. Dia bertemu dengan Muslim dengan cara yang berbeda. Mereka benar-benar sangat baik, bahkan memperlakukan setiap orang dengan hormat.

Pemeluknya bersinergi dengan masyarakat yang memiliki latar belakang keagamaan dan budaya yang berbeda. Semuanya sama-sama membangun tatanan kehidupan yang bermartabat.

Lalu, mengapa ada saja persepsi buruk tentang Islam? Hasler meyakini hal itu hanyalah prasangka yang didasarkan pada permusuhan dan kebencian, bukan fakta dan data. Hasler merasa nyaman berada di lingkungan mayoritas Muslim. Awaln ya dia hanya memilih untuk bergaul dengan sesama warga Eropa dan tidak ingin bergaul dengan bang sa lain.

Namun, pandangan itu secara perlahan ternyata berubah. Dia menemukan multikulturalisme ada lah kehidupan yang sebenarnya. Berbusana Muslim sebelum bersyahadat Enam bulan sebelum bersyahadat dia telah mencoba untuk menutup auratnya dengan memakai abaya. "Saya sangat mencintai abaya sejak awal, tapi saya menghindari untuk memakainya," kata dia.

Hasler kha watir pemakaian abaya oleh orang kulit putih merupakan penghinaan bagi penduduk setempat. Dia juga khawatir mereka akan tersinggung dengan cara berpakaiannya. Selain rasa nyaman hidup di tengah Muslim, alasan lain dia ingin segera memeluk Islam adalah pernikahannya yang bermasalah. Saat itu dia hidup di dalam pernikahan yang tidak sehat. Hasler berusaha untuk menjauh dari suaminya.

Suatu hari dia kembali ke rumah dan berdiskusi dengan suaminya untuk berpisah. Hasler meminta suaminya untuk pindah, tetapi suaminya me nolak. Dia beralasan hanya suaminya yang memutuskan kapan pindah karena dia seorang pria. Kemudian, saat terbangun pada pagi hari, Hasler memutuskan untuk menjadi Muslim.

Setelah membersihkan diri, berpakaian, dan bekerja, dia kemudian memutuskan untuk segera memeluk Islam secara diam-diam. Sepulang bekerja, dia menemui saudarinya yang berasal dari Jerman.

Hasler memberitahukan keinginannya. Di hadapan dialah, Hasler mengucapkan syahadat. Usai menyatakan diri seba gai Muslim, dia kembali ke rumah. Selama enam bulan terakhir, dia selalu bertanya kapan suaminya pindah.

Atas izin Allah, saat Hasler bertanya kepindahan itu, suaminya langsung menjawab akan pindah dan telah mengemasi pakaian. Allah memberikan tanda bahwa dia mengambil keputusan tepat.

Islam membuatnya lebih kuat. Dia lebih banyak membaca buku setelah bersyahadat. Mungkin banyak orang mengira menjadi Muslim cukup hanya mengikrarkan syahadat. Berbagai ujian mulai berdatangan.

Tahun pertama menjadi Muslim adalah masa yang sulit. Tiba-tiba seluruh temannya berubah menjadi musuh. Hanya satu orang yang masih berada di sisinya, meski dia bukanlah Muslim. Kate, dia selalu mendukung keputusan yang dipilih oleh sahabatnya.

Dia satu-satunya teman yang mendukung keputusan Hasler memeluk Islam. Karena teman lainnya terkejut, bahkan khawatir, terhadap keputusannya bersyahadat. Kate selalu ada untuknya. Bahkan, pada tengah malam, dia bersedia mengangkat telepon jika membutuhkan bantuan. Dia sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Kate.

Pernah suatu ketika Kate bersama Hasler dan mantan suaminya berkumpul pada hari Jumat. Saat itu, dia masih belum mengenal Islam dan melihat jamaah shalat Jumat kemudian muncul lelucon dari pembicaraan mereka mengenai jamaah shalat Jumat.

Saat itu, mereka melihat sebanyak 30 orang tanpa memedulikan keamanan berpegangan pada sebuah mobil dan menarik mereka agar cepat sampai ke sebuah masjid untuk shalat Jumat. Mereka menganggap situasi tersebut seperti orang yang berkonvoi.

Ketiganya beranggapan mereka melakukan tindakan bahaya hanya untuk melaksanakan ibadah. Saat itu, Kate berkata bahwa dia bukanlah orang yang religius, tetapi jika harus memeluk agama, dia akan memilih Islam.

Padahal, saat itu cara pandangnya terhadap Islam masih negatif. Mereka menganggap Muslim munafik. Itu adalah kali pertama dia dan Kate membahas agama dan kemudian kini secara mendalam Hasler mempelajari Islam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement