Rabu 21 Jun 2017 22:21 WIB

Daffa Memilih Berdoa tanpa Perantara

Rep: Fuji Pratiwi/Dok. Republika/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Berdoa di puncak bukit Uhud
Foto: Antara/Zarqoni
Ilustrasi Berdoa di puncak bukit Uhud

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Daffa Aulia bersyukur menjadi seorang Muslim. Sebab, ia merasa hidayah merupakan pemberian istimewa dan eksklusif dari Allah SWT kepada orang yang dipilih-Nya. Ia tahu, orang terdekat para Nabi dan Rasul, seperti ayah Nabi Ibrahim AS dan paman Rasulullah SAW, tidak merasakannya.

Tak jarang, ia menitikkan air mata jika mengingat kedua orang tuanya yang wafat sebelum menjadi Muslim. Ia berharap semua orang wafat dalam keadaan Muslim.

Rasa syukur bukan tanpa alasan. Pria yang bernama asli Frans Habita Meha ini tertarik dengan Islam saat tak sengaja mendengarkan ceramah Aa Gym pada awal 2002 tentang “5S” (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun).

Berkat ceramah Aa Gym itu, Daffa berniat mengambil bahan ceramah untuk persekutuan gereja dari buku Aa Gym. Buku itu dibawa ke acara persekutuan. Dari buku tersebut, Daffa mengetahui Islam adalah agama yang indah dan menenangkan.

Namun, yang menyita hatinya, yaitu konsep tak ada penghalang antara hamba dan Allah SWT. Latar belakang Katolik yang dianutnya mengajarkan adanya perantara pastor saat berdoa atau meminta sesuatu kepada Tuhan.

Puasa

Daffa menantang dirinya untuk berpuasa Ramadhan. Pada hari kedua, ia mencari mantri sunat untuk memudahkan niatnya masuk Islam. Sebab ia bertekad, jika berhasil puasa Ramadhan, ia memeluk Islam.

Pada 22 Desember 2002, bertepatan dengan perayaan Natal di perusahaannya, Daffa mengambil keputusan dan bersejarah dalam hidupnya, ia bersyahadat  dengan bimbingan Aa Gym di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Takbir bergemuruh diserukan jamaah yang hadir dan menyaksikan momen tersebut.

Saat ditanya Aa Gym mengapa masuk Islam, jawaban Daffa singkat. “Agar bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan Allah, tanpa pakai perantara,” ujarnya.

Bapak dua anak ini bahagia menjalankan keislamannya. Ia berdoa kapan dan di mana saja kepada Allah SWT. Saat azan berkumandang, ia shalat di banyak tempat, termasuk di kendaraan. Tak perlu lagi perantara atas aduan dan permohonannya kepada Allah SWT.

Dua-tiga bulan setelah menjadi Muslim dan belajar Islam, Daffa keluar dari kantornya. Selain bisa keluar dari persekutuan gereja yang dipimpinnya, rezeki yang Allah SWT berikan di tempat kerja barunya lebih besar dari yang diterima sebelumnya.

Penolakan

Meski keputusan itu mengecewakan pemilik perusahaan yang menganggap Daffa sebagai saudara dan teman-temannya di persekutuan, Daffa mantap memulai hidup baru sebagai Muslim. Sejak mengetahui Daffa mulai membaca buku Islam, mereka mengingatkannya tidak mempelajari Islam.

“Bos saya menegur jangan pelajari Islam karena agama berdarah, miskin, dan lain-lain,” kata Daffa mengenang. Saat mengundurkan diri sebagai ketua persekutuan gereja di kantornya, teman-temannya menolak. Tapi, Daffa berkukuh dengan sikapnya.

Teman-teman persekutuannya pun memperingatkannya. Teman-teman semasa kuliah S-1 Teologi Katolik menjadi sinis dan memintanya ke jalan yang benar menurut mereka.

Daffa hanya bisa mengadukan tekanan tersebut kepada Allah SWT dengan berwudhu dan shalat. Ia memasrahkan kepada Allah SWT untuk memulai dari nol. Keluarganya sendiri menyerahkan pilihan hidup kepada Daffa.

Pria kelahiran Sumba, 41 tahun silam ini harus menghadapi rintangan lain setelah menjadi Muslim. Keluarga calon istrinya mencurigainya sebagai misionaris yang berpura-pura masuk Islam. Tapi, Daffa tak patah semangat. Ia mendatangi anggota keluarga calon istrinya satu per satu dan meyakinkan keislamannya bukanlah topeng.

Ia bersyukur Allah SWT akhirnya membukakan jalan baginya untuk menikah dengan Ade Siti Nurjanah. Buah pernikahan dengan wanita asal Sumedang, Jawa Barat itu, Daffa dikaruniai seorang putri dan putra, Humaira Shafira Aulia dan Muhammad Fachri Alkayyis Aulia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement