Kamis 20 Aug 2015 07:04 WIB

Damianna Pearson, Pembenci Islam yang Bersyahadat

Rep: c27/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi)
Foto: courtesy onislam.net
Mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Awalnya, Damianna Pearson begitu membenci Islam. Pada akhirnya, ia menemukan nikmat Islam setelah mempelajari Alquran.

Ketakutan terhadap Islam atau dikenal Islamfobia akan mudah didapatkan di negara-negara Barat. Pemberitaan seputar perang dan kekerasan di daratan Timur Tengah banyak menjadi penyumbang munculnya Islamfobia.

Perempuan kelahiran Amerika Serikat ini memulai kebenciannya terhadap Islam setelah kejadian 9/11 di AS. Peristiwa tersebut membuatnya sangat ketakutan meski ia belum pernah mendengar tentang Islam bahkan Muslim. Peristiwa 9/11 membawa dirinya dan anak-anaknya yang berumur 3 dan 6 tahun menjadi umat Kristen.

"Sekarang kita kan menjadi orang Kristen! Jika ada orang-orang gila datang ke sini dan akan membom kita, saya perlu tahu bahwa kita aman," alasannya saat memutuskan memilih agama Kristen.

Setelah itu, ia mendukung terjadinya perang di Irak dan segala kekerasan yang terjadi. Pearson bahkan mengajak anak-anaknya untuk menyaksikan bersama pemboman yang terjadi di Afganistan, dan mengatakan itu merupakan hal yang tepat untuk dilakukan, meski faktanya ia mengaku bahwa saat itu Pearson tidak mengetahui di mana itu letaknya Timur Tengah.

"Aku tahu apa-apa tentang Irak, Iran, Afghanistan, Palestina, sama sekali. Tapi, saya menghabiskan tahun-tahun menyebarkan kebencian, dan kebohongan mengerikan tentang orang, tempat, dan agama, saya tidak tahu apa-apa tentang  itu. Dan  Saya senang melihat mereka sedang dibom," ujarnya dilansir dari OnIslam, Kamis (20/8).

Untuk menambah kadar kebenciannya terhadap Islam, ia mencoba mencari ayat-ayat kebencian dalam Alquran, tapi justru Pearson tidak menemukan itu semua. Alquran malah membuat hati dan hidupnya berubah.

Dalam Alquran, ia menyadari bahwa tidak ada ajaran yang menebarkan kebencian seperti yang ia lakukan kepada umat Muslim. Alquran membuat pikirannya terbuka dalam melihat orang-orang di sekitarnya.

Setelah kejadian itu, Pearson mulai mencari tahu seputar kejadian yang terjadi dari peristiwa di pelbagai tempat, termasuk kebenaran yang terjadi di Timur Tengah.  Saat mempelajari semua itu, ia tersadar bahwa penuh berita yang dimanipulatif sehingga menyebarkan kebencian.

"Saya menangis begitu banyak air mata, Saya hampir dehidrasi. Semua nyawa tak berdosa hilang karena saya berbohong. Itu adalah hal yang paling sulit yang pernah saya harus hadapi. Untuk melihat diri saya di cermin saja sulit," katanya.

Kejadian tersebut sangat membekas pada dirinya. Dan semenjak itu ia memutuskan untuk memulai menyebarkan kebenaran. Ia berharap dapat menjangkau lebih banyak orang untuk menyebarkan kebenaran  daripada saat ia melakukannya dengan kebohongan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement