Kamis 30 Jul 2015 16:13 WIB

Otobiografi Malcolm X Inspirasi Remaja Amerika Ini Masuk Islam

Rep: c38/ Red: Bilal Ramadhan
Malcolm X
Malcolm X

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amina Cisse Muhammad lahir dalam sebuah keluarga Kristen keturunan Afrika-Amerika. Ia cucu seorang pendeta baptis. Oleh kedua orang tuanya yang taat, Amina diminta untuk menghadiri sekolah minggu dan kebantian di gereja setiap Ahad.

Dilansir dari onislam.net, Kamis (30/7), meski lahir di tengah pemeluk iman Kristiani yang taat, Amina selalu punya masalah dengan konsep trinitas. Ia merasa ambigu ketika Yesus diangkat menjadi anak Tuhan, bahkan menjadi tuhan.

Ia juga mengamati kemunafikan di kalangan anggota jemaat gereja karena masih melihat jelas penghinaan terhadap orang kulit hitam di tengah masyarakat yang mencita-citakan kesetaraan dan persaudaraan itu.

Saat ia belajar sosiologi di perguruan tinggi pada 1970-an, ia diminta untuk membaca otobiografi Malcolm X yang ditulis Alex Haley. Kecuali kesalahpahaman terhadap Islam yang menyebar di tengah masyarakat, pengetahuan Amina praktis nihil.

Buku itu memiliki dampak mendalam pada Amina, terutama beberapa bab terakhir. Malcolm adalah salah satu juru bicara untuk kaum minoritas Muslim kulit hitam yang tertindas. Lantaran ajaran-ajarannya, Malcolm dituduh menghasut kerusuhan di kalangan kulit hitam.

Sebelum dibunuh pada tahun 1965, ia menunaikan ibadah haji pada 1964 dan menyaksikan kesetaraan yang ia impikan di tengah-tengah umat Islam. Orang kulit hitam, kulit putih, semua menyatu di Masjidil Haram. Selepas ibadah haji, Malcolm berganti nama menjadi Al Hajj Malik Al Shabazz.

Amina menemukan jawaban atas berbagai realita dan permasalahan sosial lewat perjalanan hidup Malcolm. Cerita Malcolm, bersama peristiwa hidup yang ia alami, mendorongnya untuk mencari sebuah sistem kepercayaan yang relevan. Sebuah keyakinan atas dasar persatuan, cinta, dan persaudaraan.

Ia memulai pencarian agamanya dengan menelusuri kembali iman Kristiani. Amina membaca Alkitab secara teliti dari depan sampai belakang, pergi ke gereja, bahkan mengunjungi Perkumpulan Saksi Yehovah di Greensboro, New York.

Namun, keraguan Amina mengenai agama Kristen tidak mereda. Kekosongan dalam hidupnya tetap tak terpenuhi. Ia pun hanya bisa mencurahkan isi hati dan meminta-Nya membimbing ke arah yang tepat.

Sekitar waktu yang sama, Amina bertemu seorang pria yang kemudian menjadi suaminya. Mereka berdua bertemu di kelas filsafat. Pria itu sudah memeluk Islam, dan Amina merasa ada ketertarikan yang tak dapat ia jelaskan terhadap pria itu.

Seiring berjalannya waktu, pria itu mulai bercerita tentang Islam. Amina pun hanyut dalam kisah dan penjelasan kawan sekelasnya. Ia nyaris tak mengalami pergolakan atau kebingungan dalam waktu lama seperti sebagian mualaf lain.

Sampai suatu malam, Amina menulis surat pada kedua orang tuanya. Ia menyatakan diri ingin masuk Islam. Amina menekankan bahwa keputusan itu sudah ia pikirkan masak-masak.

Meski mereka sempat menolak dan mencoba mengkonversinya kembali ke Kristen, keluarga Amina akhirnya bisa menerima. Pada usia ke-24 tahun, gadis keturunan Afro-Amerika itu pun menyatakan keislamannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement