Senin 11 May 2015 19:25 WIB

Saidah: Islam Hormati Perempuan

Mualaf (ilustrasi)
Foto: Courtesy Onislam.net
Mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Perlakuan suaminya membuat Saidah terpukul. Tidak ada lagi rasa kasih sayang suami yang biasa diterima. Saidah pun memutuskan meninggalkan rumah. Inilah momentumnya mengenal Islam.

Setelah aku mengalami berbagai problematika yang sangat memilukan dalam kehidupan rumah tanggaku, aku pun kemudian mencari sebuah ketenangan dengan cara melakukan diskusi dengan kakakku, Fatimah.

Saat kakak kembali datang dari Aceh, ia kembali bercerita tentang agama kepadaku dan ibu. Katanya, perempuan dalam Islam sangatlah terhormat, berbeda dengan agama lain. Islam mengajarkan setiap perempuan wajib menutup aurat. Ini sebagai salah satu bentuk upaya untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya.

Islam menempatkan perempuan sebagai tiang dari negara, bila perempuan rusak, maka rusak pulalah negara.  Bahkan menurut kakak, surga itu ada di telapak kaki seorang ibu yang mana ibu itu juga perempuan. Ini yang kakak katakan pada kami, dan semua perkataannya itu ia dapatkan setelah mempelajari Islam.

Kakak semakin mempertegas argumennya dengan mencontohkan jamaat gereja di kampung kami. Misalnya, ketika mereka hendak masuk gereja, penampilannya sangat mencolok. “Apalagi kalok mamak-mamak, biasanya diusahakan secantik mungkin, semenor mungkin, terus kalau pakai tas maunya berganti-ganti tiap minggu, semewah mungkin, sepatunya setinggi mungkin. Pokoknya kalau bisa tiap minggu harus ganti, padahal posisinya kan gak orang-orang mampu juga sih, biasa-biasa aja," kata Saidah menirukan ucapan kakaknya.

Mendengar penjelasan kakak, aku pun berpikir mengapa umat Kristiani berbeda dengan umat Muslim. "Kalau seorang Muslimah menutup aurat, hanya terlihat wajahnya ketika beribadah, bagaimana dengan perempuan Kristen? Mereka dengan leluasa mengenakan pakaian yang mereka inginkan, termasuk pakaian you can see yang memperlihatkan aurat mereka. Lantas bagaimana mereka bisa khusuk dalam beribadah, tentu ini nantinya mengundang syahwat para lelaki,” pikirku.

Apa yang dikatakan oleh kakak kupikirkan dalam relung hatiku. Ternyata benar, yang dikatakan olehnya masuk akal bagiku dan ibu, hingga kemudian aku berkata kepadanya, “Kak aku mau dong jadi Islam, aku ingin belajar Islam."

Aku berharap, dengan memeluk Islam, aku dapat menenangkan diri dan tidak lagi memikirkan suamiku. Apalagi kebanyakan orang berkata bahwa kalau masuk agama Islam, bisa menenangkan pikiran kita. Dengan pertimbangan yang tidak muluk-muluk, aku pun memutuskan untuk pergi bersama kakak ke Aceh saat itu.

Namun, aku tak jadi pindah ke Aceh melainkan Jakarta. Di sana ada abang sepupu yang kebetulan menjadi Kiai di Jakarta, yaitu KH. Syamsul Arifin Nababan. Beliau, pimpinan Pesantren Mualaf Annaba-Center. Bersambung..

 

sumber : Pesantren Mualaf Annaba Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement