Sabtu 02 May 2015 17:37 WIB

Cerita Perjalanan Islam Seorang Mantan Atheis

Rep: C38/ Red: Citra Listya Rini
 Muslimah mualaf (ilustrasi).
Foto: Reuters/Olivia Harris/ca
Muslimah mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, COLORADO -- Nama saya Maria. Saya masuk Islam satu tahun yang lalu. Saya tumbuh besar dan menjalani pendidikan di kota Boulder, Colorado. Kedua orang tua saya imigran dari Afrika Selatan. Tapi, tak satu pun dari mereka percaya pada agama.

Mereka berdua atjeis. Saudara laki-laki saya, seorang mahasiswa musik di Universitas Colorado, beragama Katolik. Sebelum saya bertobat, saya tidak pernah benar-benar percaya pada Tuhan. Saya tidak memiliki agama. Saya tumbuh dengan apa yang orang tua saya ajarkan, jadi saya tidak percaya pada Tuhan. Saya juga tidak percaya pada agama sama sekali.

Sebelumnya, saya memandang agama dengan cara negatif. Agama adalah sesuatu yang suka menyebabkan banyak masalah, seperti perang dan sebagainya. Saya mulai belajar tentang Islam sekitar dua tiga tahun yang lalu, saat kencan dengan seorang Muslim Pakistan. Itulah untuk pertama kalinya saya mengenal Islam. Saya mulai lebih terbuka dan tidak berpikir negatif. 

Saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi, setelah berbicara dengannya, saya mulai mengumpulkan lebih banyak informasi. Saya mulai membaca Alquran terjemahan bahasa Inggris. Ketika pertama kali bertemu dengannya, kami tidak membicarakan agama.

Saya tidak berpikir dia sebagai seorang Muslim. Saya kira saya hanya berpikir dia adalah orang yang benar-benar mulia dan baik hati. Dia adalah salah satu dari orang terbaik yang pernah saya kenal. Dia bersikap baik dan menyenangkan pada semua orang.

Saya tidak pernah berpikir jika karakter itu hadir karena dia seorang Muslim. Tapi semakin saya memikirkannya, semakin saya menyadari bahwa mungkin hal-hal baik tentang dia itu berasal dari Islam. Mungkin karena dia adalah seorang Muslim, ia lebih baik hati dan terbuka.

Saya memutuskan untuk masuk Islam ketika saya mulai serius dengannya. Dia adalah tunangan saya. Saya ingin menjadi orang yang tepat baginya. Namun, suatu ketika dia mengemudi dari Boulder ke Arizona untuk mengunjungi saya. Saat itulah, dia tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Itulah pengalaman pertama saya dengan kematian. 

Peristiwa itu mengilhami saya untuk mendalami Islam. Saya hanya tahu bahwa harus ada suatu alasan, harus ada kekuatan yang mengatur semua itu. Saya mulai membaca Alquran, buku-buku, dan berdiskusi dengan banyak orang. Sampai suatu hari saat sedang membaca Alqur’an, kira-kira dua bulan setelah dia meninggal, semua tampak jelas bagi saya. Saya kira saya mengucapkan syahadat sendiri saat itu.

Akhirnya, saya membicarakan hal itu dengan beberapa teman Muslim. Mereka meyakinkan saya untuk pergi ke Denver karena ada sheikh dari Denver yang dapat saya temui dan ajak bicara. Setelah kami berbicara, syeikh itu memastikan bahwa saya tidak melakukannya untuk seseorang, bukan juga untuk tunangan saya.

Saya mengatakan kepadanya, "Ya, ini untuk diri saya sendiri." Saya pun mengucapkan syahadat di bawah bimbingannya, dengan dua orang teman saya sebagai saksi. Saya tidak pernah bicara terlalu banyak tentang hal itu dengan orang tua saya. Saya tahu mereka tidak tertarik pada agama. Saya pikir pertama kalinya mereka menyadari bahwa saya serius adalah saat Ramadan tahun lalu.

Itu Ramadan pertama saya. Rasanya benar-benar sulit, tapi saya melakukannya. Saat itulah, mereka seperti baru menyadari "Oh, dia serius” atau “Wow, dia benar-benar tidak makan sepanjang hari". Tapi, mereka menerimanya.

Seandainya tidak bertemu dengan tunangan saya, saya mungkin tidak akan belajar tentang Islam dan membuat keputusan ini. Saya mengalami perubahan besar. Sebagian besar teman-teman saya sekarang adalah Muslim. Kami berkumpul, pergi ke bioskop, atau melakukan sesuatu yang kami inginkan bersama-sama.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement