Ahad 24 Dec 2017 05:01 WIB

Islam Politik? No!

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Umat muslim mengikuti aksi Super Damai 212 di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).

Sejak keruntuhan Islam Politik pada era VOC justru melahirkan kalangan Islam tradisional yang muncul dari perut rakyat. Muncul tokoh-tokoh akar rumput yang bergerak dari masjid ke masjid hingga kampung ke kampung. Mereka kembali membangun Islam sebagai motor gerakan sosial dan politik untuk melawan kolonialisme yang utamanya berbentuk penjajahan ekonomi.

Kelak dari gerakan itulah muncul berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain sebagainya. Dari tokoh-tokoh organisasi ini perlawanan sosial politik dan ekonomi dilancarkan dari perut rakyat. Kita tentu mengenal kemudian gerakan fenomenal seperti resolusi jihad yang jadi pembangkit sosial politik dari umat untuk mengusir penjajahan.

Tapi lepas dari kemerdekaan, gerakan konsolidasi umat seperti tercerai berai dengan bajunya masing-masing. Belum terbentuknya pondasi Islam Ekonomi yang kuat, Islam Politik sudah lebih dahulu bergerak di era pasca-revolusi. Padahal sistem ekonominya masih merupakan warisan kolonial.

Ini yang kemudian membuat kondisi awal Islam Politik di Republik ini sama seperti kisah akhir Islam Politik di zaman kerajaan. Pada akhirnya Islam Politik yang berkecimpung di politik mudah diinfiltrasi, diprovokasi, dan adu domba. Hingga akhirnya Islam Politik justru semakin tenggelam di Orde Lama dan runtuh di Orde Baru. Pola dari pelaku Islam Politik saat itu pun jauh dari perilaku Islam itu sendiri. Hingga akhirnya situasi ini yang memancing kritik dari seroang Nurcholish Madjid pada 1970.

Hingga sekarang memasuki era reformasi kita patut bertanya bagaimana kondisi Islam Politik? Apa hadirnya sejumlah partai Islam sudah memberi manfaat? Mengapa justru beberapa dari mereka terjerat korupsi yang sebenarnya jauh dari nilai keislaman?

Rentetan pertanyaan itu rasanya penting sebagai otokritik untuk memperbaiki diri. Lagi-lagi kita patut berkaca. Mengedepankan Islam Politik saja hanya akan menjadi guyonan semata jika melihat Islam Ekonomi justru tertidur lelap.

Sebab kita tak memungkiri bahwa elemen ekonomi bobot pengaruhnya pada politik sangat besar. Tak ada bangsa yang besar jika ekonominya kerdil.

Ada baiknya kita melihat statistik sejarah ekonomi Indonesia. Sebab sejatinya, sejak era kurun niaga (abad 16 dan 17), Islam secara ekonomi tertidur lelap. Situasi yang terjadi sejak era VOC ini bertahan hingga zaman now.

Dalam Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendikiawan yang digelar di Pesantren Al-Hikam 8 Februari 2014 ada statistik menarik yang bisa kita jadikan rujukan.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,18 juta jiwa. Sebanyak 87 persen di antaranya beragama Islam. Sisanya 13 persen beragama selain Islam.

Menariknya, berdasarkan data yang diungkapkan dalam Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendikiawan ini, data statistik penduduk berdasar agama ini mengalami anomali ketika kajiannya ditarik ke ekonomi. Ketika ditarik ke statistik jumlah raksasa ekonomi di negeri ini, populasi umat Islam terjun bebas dari 87 persen hanya menjadi 15 persen!

Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2016 juga mempertegas temuan yang sama. Dalam Forum Ekonomi di Rapat Pleno itu terungkap bahwa statistik penduduk muslim yang menguasai ekonomi Indonesia hanya 12 persen!

Catatan terbaru dari Globe Asia pada 2017 menunjukkan dari 150 pengusaha tersukses di Indonesia hanya 24 orang saja yang beragama Islam. Atau populasi pengusaha Muslim hanya 16 persen dari total populasi pengusaha tersukses di Indonesia.

Jadi berbicara soal ekonomi, Islam bukanlah mayoritas. Jadi kalau ada yang mengatakan Islam adalah mayoritas di negeri ini, rasanya perlu dipertanyakan lebih jauh. Mayoritas dalam hal apa? Jumlah atau pengaruh?

Walhasil, pandangan filsuf George Santayana yang menyatakan, 'siapa yang tak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk megulanginya', patut menjadi renungan kita semua. Keruntuhan Kerajaan Islam di Nusantara yang terjadi tanpa kemandirian dari ekonomi umat, sudah jadi penanda tegas bahwa Islam Politik tanpa Islam Ekonomi hanya sekadar lelucon semata.

Islam Politik tanpa Islam Ekonomi hanya membuat umat berkelahi sendiri demi posisi. Kita tentu bisa berkaca dari VOC yang tak butuh jumlah tentara banyak untuk menaklukkan Nusantara. Sebab menjadi mayoritas dari jumlah tak ada artinya tanpa mayoritas dari segi pengaruh.

VOC lewat kekuatan modalnya bisa membuktikan pengaruh itu dengan mengadu domba Goa dan Tallo, Ternate dan Tidore hingga Sultan Haji vs Sultan Ageng Tirtayasa hingga akhirnya runtuh.

Begitupun kondisi umat saat ini yang hanya banyak dari segi jumlah tapi minim pengaruh ekonominya. Sebab memang nyatanya umat Islam Indonesia sudah terlalu banyak yang jadi politisi, tapi minim pengusaha.

*Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement