Sabtu 04 Nov 2017 04:35 WIB

Jubah Rasulullah SAW Hingga Turkish Delight yang Menggugah

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto
 Hagia Sophia, salah satu peninggalan Kesultanan Utsmani. Dari gereja menjadi masjid, dan kini jadi museum.
Foto: hagiasophia.com
Hagia Sophia, salah satu peninggalan Kesultanan Utsmani. Dari gereja menjadi masjid, dan kini jadi museum.

REPUBLIKA.CO.ID, Much Aziz Gumilar salah seorang alumni Universitas Gunadarma Depok dan SMA Pribadi Depok, kembali mengulang memorinya pada waktu melakukan perjalanan wisatanya ke Istanbul, Turki. Negara yang dikenal dengan penduduk Muslim wanitanya yang berjilbab, namun tetap stylish.

"Dari Indonesia ke Turki, saya dua kali transit, dengan memakan waktu sekitar lebih dari 12 jam. Pertama transit di Kuala Lumpur, Malaysia, kemudian transit di Bahrain. Nah, di Bahrain kita sempat menginap satu malam, dan dari situ langsung ke Istanbul," ujar Aziz kepada Republika.co.id, Kamis (2/11).

Benar saja, pertama kalinya tiba di Istanbul, di setiap sudut jalan ia melihat wanita-wanita berjilbab, namun jauh dari bayangannya bahwa wanita di sana mengenakan pakaian gamis longgar. "Saya jarang lihat di sana orang pakai gamis, malah wanitanya lebih modern," papar dia.

Saat Aziz mengunjungi Istanbul pada 2008, nuansanya sudah Islami, dihiasi dengan banyaknya wanita berkerudung khas Turki dan menawan. Mereka terlihat lebih modis, menggunakan kerudung tetapi tetap mengikuti kekinian. Mereka lebih suka menutupi lekuk tubuh mereka dengan jaket daripada gamis, dan banyak yang memakai celana.

Setibanya di Istanbul, ia disambut dengan kelompok relasi dari sekolahnya yakni, Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association (PASIAD), yang menyambut rombongannya dengan ramah. Rombongan Aziz hanya lima orang siswa dan satu orang wali kelasnya. PASIAD menyediakan mereka sebuah flat sebagai tempat menginap mereka selama enam hari di Istanbul.

Ternyata di dalam flat tersebut, berisi juga anak-anak alumni dari PASIAD, sehingga cukup ramai. Dan PASIAD pada waktu itu masih mengikat kontrak dengan SMA Pribadi (saat ini pihak sekolah sudah memutuskan kontrak dengan PASIAD).

Selesai merapikan diri di flat yang terletak dalam sebuah komplek perumahan, Aziz memulai perjalanannya dengan mengunjungi beberapa wisata khas sekitar Istanbul.

Museum Hagia Sophia.

Dengan bayangan yang masih belum bisa ia lupakan hingga saat ini, Aziz menceritakan bagaimana Hagia Sophia berdiri megah sebagai museum, setelah sebelumnya dijadikan gereja oleh orang Kristen, kemudian dialih fungsikan lagi menjadi masjid oleh umat Islam.

"Waktu itu kalau tidak salah Kerajaan Turki itu runtuh, akhirnya masjid itu diubah menjadi museum. Sebagian besar ornamen masjidnya masih dilestarikan. Artinya, di dalam Hagia Sophia ada ornamen gerejanya, ada juga ornamen masjidnya. Dan sewaktu saya datang ke sana, dinding-dindingnya sedang direnovasi," papar Aziz.

Hagia Sophia awalnya adalah Gereja Katedral atau Basilika yang dibangun pada masa Bizantium. Penguasa yang membangun gereja ini adalah kaisar Konstantius, putra Konstantin. Dulu gereja ini sering mengalami kerusakan karena dihantam oleh gempa.

Hagia Sophia tidak mampu menahan guncangan gempa yang sering melanda Konstantinopel (sekarang Istanbul), meski struktur bangunanya telah dibuat sedemikian rupa.

Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul Encyclopeida of Islamic Civilization, menyebut bagian terpenting dari Hagia Sophia adalah kubahnya yang besar dan tinggi. Kubah ini berdiameter 30 meter dan tinggi 54 meter. Bagian dalam dihiasi dengan interior yang berbentuk mosaik dan fresko, tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni dan dindingnya dihiasi dengan ukiran.

Pada 1453, setelah konstantinopel direbut oleh Turki Ottoman di bawah pimpinan Sultan Muhammad II al-Fatih, Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Dia pun mengganti nama Hagia Sophia menjadi Aya Sofya.

Meski telah mengubah fungsinya menjadi masjid, Sultan Muhammad II tetap membiarkan Hagia Sophia seperti apa adanya ketika masih menjadi gereja. Satu-satunya yang berubah adalah pembangunan menara di bagian selatan.

Setelah kekuasaan Muhammad II berakhir, barulah dilakukan berbagai modifikasi terhadap Hagia Sophia. Modifikasi-modifikasi tersebut dilakukan agar Hagia Sophia memiliki gaya dan corak yang sesuai dengan masjid. Pada masa kekuasaan Sultan Salim II (1566-1574) dibangun lagi dua menara.

Bagian-bagian bangunan yang identik dengan gereja diubah. Di antaranya tanda salib yang terpampang pada puncak kubah diganti dengan hiasan bulan sabit. Penggantian ini sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid, bukan lagi gereja. Selain itu, tidak ada bagian bangunan yang dibongkar.

Selama hampir 500 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid, benda-benda seperti patung, salib dan lukisan sama sekali tidak dihancurkan. Selama menjadi masjid, Hagia Sophia terus mengalami perkembangan, baik dari sisi bangunan fisik maupun fungsinya.

Selain membangun beberapa menara di sekeliling masjid, penguasa Turki Ottoman juga membuat mimbar tempat khatib berkhutbah, mihrab tempat sultan mengaji dan beribadah, tempat wudhu serta madrasah sebagai tempat orang-orang belajar agama dan Alquran.

Pada pertengahan abad ke-19, Turki Ottoman mulai melemah akibat berbagai masalah internal maupun eksternal. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Mustafa Kemal Ataturk untuk mengubah sistem pemerintahan Turki dari khilafah menjadi republik. Pada 1935, Ataturk yang terpilih menjadi presiden Turki yang pertama mengubah Hagia Sophia menjadi museum.

Menurut Aziz, ketika ia mengunjungi Hagia Sophia, memang banyak sekali pengunjung. Di hari berikutnya, Aziz mengunjungi satu tempat yang masih terus terbayang-bayang dalam benaknya. Tempat itu adalah Istana Topkapi.

Bagaimana tidak? Di dalam istana itu terdapat berbagai macam artefak peninggalan peradaban Islam yang pernah ada di muka bumi. "Termasuk artefak Rasulullah SAW, di sana ada jubah dan pedang milik Rasulullah SAW. Saya melihat langsung bagaimana bentuk dua benda yang pernah digunakan oleh junjungan umat Islam," ujar dia.

Ia menggambarkan jubah Rasulallah SAW ini berwarna putih dan sudah mulai memudar, serta berukuran besar. Ia tidak memperhatikan betul bagaimana bentuk pedang Rasulullah SAW, karena lebih tertarik melihat benda yang melekat secara langsung di tubuh Rasulullah SAW.

Namun, sangat disayangkan ada aturan di sana yang melarang pengunjung untuk berfoto atau selfie, sehingga ia tidak bisa mengabadikan jubah salah satu umat kesayangan Allah SWT itu. "Saya memang kurang tahu ya itu jubah beneran atau replika saja, karena kalau museum kan kebanyakan replika ya," kata dia lagi.

Tidak hanya peninggalan Rasulullah SAW saja, ada banyak juga peninggalan Kerajaan Utsmaniyah di sana, seperti baju perang dan pedang, juga meliputi atribut-atribut lainnya.

Istana Topkapi dulunya merupakan kediaman resmi dan pusat pemerintahan Turki Ottoman selama kurang lebih 400 tahun. Istana ini terletak persis di tepi pantai pada titik pertemuan antara Selat Bosphorus, Tanjung Tanduk Emas (Golden Horn), dan Laut Marmara.

Marlise Simons dalam tulisannya yang berjudul 'Center of Ottoman Power' menjelaskan, istana ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas empat halaman utama yang dilengkapi dengan beberapa bangunan kecil.

Istanbul yang membangun berbagai masjid megah, akhirnya membawa Aziz pada sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Biru (Masjid Sultan Ahmad). Ia mengatakan, datang ke Masjid Biru sebenarnya ingin shalat saja, namun begitu masuk ke dalamnya, ia pun melihat-lihat arsitektur dari masjid itu.

Mengapa dikenal sebagai Masjid Biru? Masjid ini banyak didominasi dengan ubin biru disekitar dinding desain interiornya. Bagian atas interior juga didominasi oleh cat biru. Lebih dari 200 jendela kaca patri dengan desain yang indah dan terihat rumit memancarkan cahaya alami, ditambah dengan adanya lampu gantung.

Interior masjid dihiasi 20 ribu keramik dari Iznik berwarna biru, hijau, ungu, dan putih. Terdapat Ornamen bunga-bungaan dan tanaman bersulur yang sangat indah memancarkan warna biru saat tersentuh cahaya matahari yang masuk lewat jendela 260 kaca patri. Lantai masjid ditutupi dengan karpet, yang disumbangkan umat Islam dan diganti secara teratur.

Selain tempat beribadah, masjid ini juga terdapat makam pendiri masjid, lalu madrasah dan rumah sakit. Masjid Biru memiliki enam menara, dan dekat dengan Istana Topkapi, yaitu tempat kediaman para Sultan Utsmaniyah terdahulu. Dan masjid ini juga dekat dengan pantai Bosporus, yang jika dilihat dari laut, kubah dan menara mendominasi langit kota Istanbul.

Tidak cukup dengan mengunjungi tempat-tempat ternama di Istanbul, serta masjid-masjid megah yang membuat decak kagum tidak berhenti, Aziz menyempatkan diri membeli beberapa buah tangan untuk keluarga dan teman-temannya. Sebenarnya banyak pilihan yang bisa dibeli untuk oleh-oleh, namun Aziz lebih menyukai membelikan makanan khas Turki.

Yup, Turkish Delight menjadi pilihan Aziz untuk dibeli sebagai oleh-oleh. Siapapun yang datang ke Turki memang harus mencicipi satu makanan khas yang lazim disebut lokum oleh masyarakat Turki ini.

Rasanya manis dan bertekstur kenyal, variannya pun juga beragam, ada yang varian rasa mawar, ada juga varian yang dicampur kacang pistachio, hazelnut, atau walnut, ada juga yang dicampur dengan kelapa.

Turki, adalah negara yang dinobatkan menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata muslim terbaik dunia. Turki memiliki berbagai objek wisata, budaya serta karya khas turun temurun yang unik dan bernilai seni tinggi.

Selain Masjid Biru sebagai landmark kebanggaannya, Turki juga patut mengangkat kepala dengan karpet permadaninya yang menjadi salah satu karpet terbaik selama berabad-abad bahkan hingga saat ini.

Aziz tidak ingin menghilangkan kesempatannya secara langsung untuk memiliki karpet terbaik di dunia ini, sehingga ia juga membeli beberapa karpet sebagai oleh-oleh. Karpet permadani klasik buatan Turki ini dimiliki juga di rumah Bill Clinton, pangeran Jepang dan banyak orang terkenal serta berpengaruh di dunia lainnya.

Akhirnya, setelah menjelajah Istanbul yang terletak di Benua Eropa, Aziz menyebrang ke Bursa yang ada di Benua Asia, untuk melanjutkan perjalanannya.

"Istanbul adalah replika sebagian dari Turki, karena sebagian lainnya masih perlu ditelusuri lagi. Jika saya berkesempatan ke sana lagi, saya ingin ke Ankara dan Izmir, karena katanya tempat wisata di sana lebih keren-keren lagi," papar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement