Jumat 13 Oct 2017 06:33 WIB

Kota Samarra, Buah Karya Enam Khalifah

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
 Kota Baghdad, pusat Daulah Abbasiyah.
Foto: sott.net
Kota Baghdad, pusat Daulah Abbasiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, Samarra merupakan ibu kota Daulah Abbasiyah, terletak 60 mil sebelah utara kota Baghdad. Kota ini dibentuk oleh tujuh khalifah yakni Khalifah Abu Abbas As-Saffah, Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim, Abu Fadl Ja’Far Al-Mutawakkil, Khalifah Al-Wasiq, Al-Mu’tami. Kota ini dibangun secara besar-besaran dan dijadikan pusat pemerintahan oleh Khalifah Abbasiyah ke-8, Al Mu’tashim.

Dikutib dari buku 'Khazanah Peradaban Islam' karya Tata Septayuda Purnama, keindahan kota ini membuatnya diberi nama Surra Man R’a artinya menyenangkan bagi yang menyaksikan, seperti tertulis dalam mata uang Abbasiyah. Namun, setelah ditinggalkan para khalifah dan tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Abbasiyah, kota ini dengan cepat mengalami kemunduran. Nama semula Surra Man R’a dipelesetkan menjadi Sa’man Ra’a  dibaca Sa’marra yang berarti jeleklah orang yang menyaksikan. Begitupun hingga sekarang nama itulah yang dikenal orang, yakni Samarra.

"Nama kota tersebut mendekati bunyi Samarra. kota ini dibangun di atas puing-puing kota kuno, sebelum Islam datang dengan penguasa saat itu adalah Byzantium," kata  Hasan Al-Basya, ahli sejarah dalam bukunya buku Dirasat fi Al-Hadharah Al-Islamiyah (Studi Rentang Peradaban Islam).

Akibat peperangan yang berulang-ulang banyak bangunan di kota kuno itu hancur. Setelah berada di bawah kekuasaan Islam, kota ini sedikit demi sedikit dipugar. Khalifah Abbasiyah pertama, Abu Abbas As-Saffah adalah penguasa Islam pertama yang membangun kota ini. Usaha As-Saffah kemudian dilanjutkan oleh Harun Ar-Rasyid yang membangun sebuah istana di sana. Saat itulah sebuah sungai dibuat di dekat kota tersebut dan diberi nama Sungai Al-Qatul, tetapi pembangunan yang lebih terencana dan besar-besaran dilakukan pada masa Khalifah Al-Mus’tashim.

Khalifah Al-Mu’tashim adalah putra Khalifah Ar-Rasyid, memiliki keturunan Turki dari garis ibu, dirinya mengambil kebijakan untuk mendatangkan orang-orang Turki ke ibu kota kerajaan, yakni Bagdad. Hal itu menyebabkan kota Bagdad penuh sesak dengan orang-orang Turki. Celakanya, orang-orang Turki ini sering mengganggu ketenangan masyarakat Bagdad. Konflik antara penduduk Bagdad lama dengan penduduk baru sering terjadi.

Masyarakat Bagdad kemudian menyampaikan keluhan kepada khalifah mengenai tingkah laku orang-orang Turki tersebut. Selanjutnya khalifah mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahannya dari Bagdad ke Samarra. Ia mendatangkan arsitek pilihan dari berbagai negeri Islam untuk membangun kota itu dan mendirikan istana. Ia juga membangun pemukiman para pedagang, buruh, tentara, panglima, pegawai, dan masyarakat pada umumnya.

Setelah selesai, Khalifah Al-Mu’tashim bersama para panglima dan tentaranya pindah ke sana. Dengan demikian kota ini resmi menjadi pusat pemerintahan dan ibu kota Daulah Abbasiyah. Sejak itu, kota ini dengan cepat mengalami perkembangan. Adapun khalifah Al-Mu’tashim menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Kemudian Khalifah Abbasiyah ke-10, Abu Fadl Ja’Far Al-Mutawakkil banyak membangun dan memperindah kota ini. Masa pemerintahannya memang ditandai ketenteraman internal dan eksternal. Demikian pula Khalifah Al-Muntashir ikut berperan dalam mempercantik kota ini dengan taman, danau buatan, dan lapangan.

Kota Samarra berdiri di tepi timur Sungai Dajlah (Tigris) dan dikelilingi dua anak sunga, yaitu Sungai Al Qatul dan Sungai Al-Yahudi sehingga menyerupai sebuah pulau. Lingkungan alam yang nyaman diperindah dengan banyaknya istana yang didirikan oleh enam Khalifah Abbasiyah yang berkuasa dan mengatur pemerintahannya di sana.

Khalifah Al-Mu’tashim mendirikan istana Al-Jausaq dan Khalifah Al-Wasiq (842-947 M) membangun istana Al-Harun. Khalifah Al-Mutawakkil bahkan membangun 24 istana dan yang terkenal diantaranya adalah Balkawari, Al-Arus,Al-Mukhtar, dan Al-Wahid. Istana Al-Arus merupakan istana yang paling indah. Khalifah Al-Mutawakkil di akhir masa pemerintahannya mendirikan kota Al-Ja’fariyah di utara Samarra. Di kota baru tersebut terdapat istana Al-Ja’Fari. Al-Mu’tamid, khalifah terakhir yang berkuasa di sana mendirikan Istana Al-Ma’syuq, karena keindahannya, istana-istana itu kemudian menjadi inspirasi para arsitektur istana di negara-negara Islam lain.

Di samping bangunan istana di kota Samarra juga terdapat dua masjid yang masing-masing didirikan oleh Khalifah Al-Mu’tashim dan Khalifah Al-Mutawakkil. Masjid kedua lebih besar dari yang pertama dan disebut Majid Raya Samarra. Atapnya berbentuk kubah berlapis emas. Arsitektur yang unik menunjukkan ciri khas Timur Tengah.  Khalifah Al-Mutashim dan Al-Wasiq adalah khalifah yang kuat dan mampu mengendalikan orang-orang Turki. Namun, khalifah-khalifah selanjutnya lemah sehingga para panglima tentara Turki yang makin kuat dapat mempengaruhi mereka secara politis.

Campur tangan ini menyebabkan memburuknya sistem pemerintahan, bahkan pengaurh politik mereka begitu kuat sehingga para khalifah seakan-akan hanya menjadi boneka mereka. Maka, untuk melepaskan diri dari pengaruh buruk orang-orang Turki tersebut, Khalifah Abbasiyah ke-15, Al-Mu’tamid, memindahkan kembali pusat pemerintahan dan ibu kota kerajaan ke Bagdad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement