Senin 18 Sep 2017 10:43 WIB
Seriak Kekerasan September

Pesantren Takeran Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948

Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur.
Para bangsawan Kesultanan Yogyakarta yang menjadi pengikut Diponegoro menjadi Kiai dengan mendirikan Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur.

Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) KH Zakaria (83 tahun) mengatakan, seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala rombongan yang dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.

''Ketika menjemput kepada Kiai Mursyid Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,'' kata Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik. (Keterangan gambar: KH Zakaria, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM), Takeran.)

Zakaria menceritakan, tak cukup menyerbu pesantren PSM Takeran, pada saat itu banyak pesantren lain yang ada di sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan masa PKI pimpinan Muso itu. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.

''Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok, KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,'' ujar Zakaria.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. "Mbah Kiai Pesantren Tegalrejo akhirnya bisa lolos dari penculikan,'' ungkap Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Melihat proses penculikan, di kemudian hari Zakaria menyimpulkan bahwa aksi kejam berupa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada bulan September tahun 1948 itu bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Setidaknya, mereka benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang. Ini terbuti hanya dalam waktu singkat para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

''Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'' tegas Zakaria.

             *  

Tak hanya menyapu daerah di timur Gunung Lawu, aksi PKI di tahun 1948 juga memakan "wilayah barat", seperti Klaten dan Solo. Tanpa dinyana dalam sebuah perbincangan ringan di pinggir Kali Code, Yogyakarta, pada 1 Oktober lalu, seorang cucu Lurah sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah, Arfan Suasdiantoro menceritakan nasib keluarganya yang pada tahun 1948 dibantai PKI.

''Eyang saya yang bernama Pudjo Sukarto adalah seorang kepala desa. Beliau dibunuh PKI hanya karena mendirikan mushala. Tiba-tiba saja segerombolan orang datang menyerbu rumah. Mereka merebut pistol eyang saya dan menembaknya di bagian leher tembus hingga bagian kepala. Ibu saya yang saat itu masih berusia sekitar enam tahun menyaksikan langsung peristiwa itu,'' kata Arfan.

Arfan mengatakan, kisah pembunuhan sang kakek memang telah diceritakan kepada semua saudaranya. Dan ibunya pun berpesan agar peristiwa itu dijadikan pelajaran bahwa pada saat itu memang telah ada ideologi yang tidak menghargai kepercayaan orang beragama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement