Ahad 13 Aug 2017 05:03 WIB

Oma Irama, Dangdut Kampungan: Sound Of Muslim dan Perubahan Sosial

Rhoma Irama
Foto:
Ketua Umum Partai Islam Damai dan Aman (Idaman) Rhoma Irama (kiri) didampingi jajaran pengurus DPP Partai Idaman usai memberikan keterangan pers di Kantor DPP Partai Idaman, Jakarta, Minggu (9/10).

Entah karena beratnya tekanan yang dia terima,  ataukah karena cuaca politik yang mulai berubah, dekat menjelang pemilu 1997 Rhoma Irama kerap terlihat berjalan bersama putri sulung Presiden Soeharto,  Ny. Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut.

Acara rantang-runtung itu kadang disertai juga oleh Ketua Umum PBNU, K. H. Abdurrahman Wahid. Sejak sering terlihat jalan bareng Mbak Tutut,  layar TVRI terbuka untuk Rhoma Irama dan Soneta.

Meski demikian, tidak semua penggemar Rhoma Irama suka dengan kenyataan runtang-runtung itu. Terbukti ketika Rhoma dan Tutut bermaksud membikin acara di Pekalongan,  panggung yang sudah disiapkan, dibakar massa. Acara pun batal.

Pekalongan adalah wilayah yang selama pemilu Orde Baru menjadi basis PPP. Runtang-runtung Rhoma Irama-Mbak Tutut,  membuahkan hasil. Pada 1 Oktober 1997, Rhoma Irama dilantik menjadi anggota DPR-RI mewakili Golkar yang pada pemilu 1977 meraih 325 kursi DPR-RI.

Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1997 memang luar biasa.  Bandingkan dengan PPP yang memperoleh 89 kursi,  dan PDI yang hanya mendapat 11 kursi,  sementara ABRI mendapat jatah kursi gratis sebanyak 75 kursi.

Betapapun kuatnya Golkar dan ABRI, toh mereka tidak mampu menahan gelombang perubahan. Selang beberapa bulan saja,  Presiden Soeharto yang secara teoritis didukung oleh 400 dari 500 anggota DPR,  menyatakan mengundurkan diri.

Reformasi politik terus bergulir. Antara lain lahir Ketetapan MPR tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden,  pencabutan TAP MPR tentang Referendum, pencabutan TAP MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), penghapusan keharusan berasas tunggal Pancasila bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan, dan penghapusan dwi-fungsi ABRI.

Dalam gegap gempita reformasi, tidak terdengar suara Rhoma Irama.  Padahal menyangkut isu P-4, dan asas tunggal Pancasila, pada masanya Rhoma Irama adalah salah seorang pengeritik lantang.

Apakah Rhoma Irama mengalami perang batin?  Wallahu'alam. Yang pasti,  tidak lama sesudah Sidang Istimewa MPR pada akhir 1998, Rhoma Irama mengikuti jejak Pak Harto: menyatakan berhenti dari jabatannya di DPR.

Habis Manis Rhoma Dibuang

Sesudah tidak lagi menjadi anggota parlemen, Rhoma Irama kembali ke habitatnya: bermusik ria. Akan tetapi, pada setiap hajat demokrasi, dia masih selalu tampil merajut ukhuwah.  Rhoma membantu semua partai politik yang berasas dan berbasis massa Islam.

Lama tidak terdengar kiprah politiknya, tiba-tiba pecah kabar,  Rhoma Irama berniat menjadi Presiden. Niat itu urung lantaran tidak ada satupun partai yang mengusungnya,  termasuk partai politik yang pernah dia bantu. Untuk Rhoma Irama  rupanya berlaku juga pepatah "habis manis Rhoma dibuang."

Sesudah itu terdengar kabar, Rhoma Irama digadang-gadang menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Rhoma terlihat pada upacara pembukaan Muktamar PBB dan sempat menjadi imam shalat Jum'at di arena muktamar,  dan sesudah itu kembali sunyi.  Setelah muktamar,  PBB  dipimpin oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra. Bukan oleh Rhoma Irama.

Rhoma Irama kemudian membesut partai politik bernama Idaman. Apakah Rhoma Irama akan mampu menjadi magnet yang memikat para calon pemilih untuk mendukung Partai Idaman, sebagaimana pada 1977, 1982, 1987, dan 1992 ajakan Rhoma Irama untuk mencoblos PPP cukup didengar oleh penggemarnya.

Kita lihat saja nanti akan terjadi seperti apa? 

 

*Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan anggota DPRRI PPP, mantan staf M Natsir dan Wapres Hamzah Haz.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement