Jumat 01 May 2015 00:02 WIB

Cina-Muslim di Jawa: Saling Silang Budaya

Rep: C38/ Red: Julkifli Marbun
ilustrasi
Foto: facebook.com/pages/Masjid-Cheng-Hoo
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina memiliki peranan penting dalam proses pembentukan masyarakat, termasuk proses islamisasi di Jawa. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya juga menyatakan bahwa kaum peranakan memiliki andil besar dalam perkembangan nasional Indonesia.

Afthonul Afif dalam Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, menjelaskan runutan sejarah tentang perkembangan Cina Muslim ini. Menurut catatan perjalanan Faxian, seorang biksu Budha yang datang ke Jawa tahun 400-414 M, pada masa itu di Jawa belum banyak ditemukan orang Tionghoa. Hubungan dagang dan politik antara Cina dengan Nusantara masih minim.

Kemungkinan besar, orang-orang Tionghoa mulai menetap di Nusantara pada abad ke-8 M, ketika Cina telah berkembang menjadi negara pengekspor teh dan porselen terbesar di dunia. Banyak di antara mereka yang kemudian menikah dengan perempuan pribumi dan membaur bersama masyarakat lainnya.

Ketika Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam berkunjung ke Nusantara pada abad ke-15 M, orang-orang Cina telah lama berdiam di wilayah pesisir utara Jawa dan Samudra Pasai. Di Banten, mereka memiliki hubungan baik dengan kesultanan setempat. Tidak sedikit di antara mereka yang menjadi tokoh agama, syahbandar, serta menduduki posisi penting dalam bidang perdagangan.

Ketika armada Cornelis de Houtman mendarat di Banten tahun 1596, mereka tercengang menyaksikan komunitas Tionghoa telah mengakar kuat di wilayah tersebut dan memiliki hubungan baik dengan penduduk setempat. Jumlah Tionghoa di Banten pada tahun 1600 diperkirakan telah mencapai sekitar 3000 orang. Yang tidak kalah penting, harus dicatat bahwa sebagian besar dari mereka adalah Cina-Muslim.

Loyalitas orang-orang Cina terhadap dakwah Islam tidak diragukan pada masa itu, termasuk dalam proses transisi kerajaan Demak dari kerajaan Majapahit. Koalisi antara Demak dengan Tionghoa ini kemudian memunculkan tokoh legendaris Babah Lim Mo Han, yang gigih membantu Demak mengusir bangsa “Atas Angin” Portugis.

Keharmonisan hubungan antara Jawa-Cina mulai retak menjelang keruntuhan Demak. Setelah Demak runtuh, kekuasaan pindah ke Pajang, di mana pusat kekuasaan beralih dari kawasan pesisir ke kawasan pedalaman. Peralihan pusat kekuasaan tersebut memberi dampak terhadap corak pemerintahan, dari sektor maritim kepada sektor agraris. Termasuk, setelah Pajang digantikan oleh Mataram.

Orang-orang Tionghoa yang sebagian besar mengandalkan aktivitas perdagangan maritim secara perlahan menunjukkan pergeseran orientasi. Sikap penguasa Jawa yang dianggap tidak lagi akomodatif terhadap kepentingan mereka menyebabkan bergesernya loyalitas Tionghoa kepada VOC. Orang-orang Tionghoa selanjutnya menjadi anak emas VOC karena dianggap dapat menopang stabilitas perekonomian Hindia Belanda.

Namun, hubungan itu pada akhirnya memburuk sejak peristiwa chinezenmoord (pembantaian orang-orang Cina) di Batavia pada 1740. VOC mulai khawatir melihat posisi orang-orang Tionghoa yang semakin kuat secara ekonomi. Hal itu dapat menjadi ancaman serius bagi kekuasaan VOC.

Ketika VOC menghembuskan isu di kalangan pribumi bahwa orang-orang Cina akan melakukan pemberontakan, dengan kalap para pribumi membantu VOC melakukan pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran rumah orang-orang Cina.

Pasca 1740-an, terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh Cina melawan VOC. Setelah posisi mereka semakin terdesak di Batavia, orang-orang Tionghoa kemudian bergerak ke timur menuju ke pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, lagi-lagi pada tahun 1741, terjadi pertumpahan darah besar-besaran di Semarang yang kemudian disusul peristiwa serupa di Gresik.

Pemerintah Belanda semakin ketat membatasi ruang gerak mereka dengan mengeluarkan peraturan wijkenstelsel yang memaksa orang-orang Tionghoa tinggal di kawasan khusus mirip getho-getho untuk orang Yahudi di Eropa Barat, yang disebut dengan Pecinan.

Tidak hanya itu, Belanda juga mengeluarkan kebijakan passenstelsel yang mewajibkan orang-orang Cina untuk membayar pajak jalan ketika mereka ingin keluar dari wilayah pemukiman. Kebijakan ini menyulitkan aktivitas perdagangan orang-orang Tionghoa dan tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kebangkrutan.

Sejak itu hubungan antara Cina dan pribumi tidak pernah benar-benar membaik seperti semula. Prasangka rasial itu terbangun dari kedua belah pihak mulai dari masa pra kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, bahkan hingga hari ini. Namun, hal itu tidak sedikitpun menghilangkan pengaruh warisan budaya Cina yang masuk dalam kehidupan kita sehari-hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement