Senin 27 Jul 2015 22:00 WIB
Muktamar NU

Makna Ahlul Halli wal Aqdi dalam Muktamar NU

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Suasana Muktamar NU di Makassar
Foto: SYAKIR/REPUBLIKA
Suasana Muktamar NU di Makassar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan ahlul halli wal aqdi (ahwa) mengemuka dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, awal bulan depan. Penggunaan konsep ini dalam pemilihan Rais 'Aam NU menimbulkan pro-kontra di kalangan warga Nahdliyin.

Dilansir dari website resmi NU, nu.or.id, Senin (27/7), ahlul halli wal aqdi merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif yang ditaati, berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dan dibentuk untuk keperluan khusus.

Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti “orang yang berwenang melepaskan dan mengikat.” Mengikat lantaran keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli, sedang melepaskan karena mereka bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.

Tradisi ahlul halli dicontohkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab menjelang akhir hayatnya. Umar memilih para sahabat tepercaya sebagai wakil dari kaum Muslimin untuk memilih penggantinya.

Tradisi ini semakin dikenal setelah para faqih memformulasikan dalam bentuk ilmu fiqih. Al Mawardi dalam kitab al Ahkam as Sulthoniyyah memasukkan lembaga ahlul whalli sebagai institusi khusus yang membantu khalifah menjalankan pemerintahan.

Anggota ahlul halli adalah perwakilan orang-orang yang berpengaruh dan penting di tengah umat.NU kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriah dan berfungsi sebagai ahlul halli. Syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat dalam muktamar dan para ahwa yang dipilih formatur.

Di masa awal NU, ahlul halli sebagai fungsi pernah dikemukakan NU ketika mengusulkan Indonesia berparlemen, sebagaimana tuntutan Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) dalam Kongres Rakyat Indonesia (Korindo).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement