Kamis 28 May 2015 08:19 WIB

Tiga Ciri Pondok Pesantren di Indonesia

Suasana pemakaman almarhum ustaz H. Ahmad Muzzammil di Pondok Pesantren Al Quran Nurul Hikmah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (7/5).
Foto: Republika/Amin Madani
Suasana pemakaman almarhum ustaz H. Ahmad Muzzammil di Pondok Pesantren Al Quran Nurul Hikmah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, WONOSOBO -- Pondok pesantren di Indonesia memilliki ciri khas berbeda satu dengan lainnya. Ini lantaran, masing-masing kiai memiliki otonomi yang sangat luas dan kewenangan besar ke arah mana pesantrennya dikembangkan.

Ada pontren yang mendalami ilmu hadist, tafsir, ilmu alat, dan pada awal tahun 70-an berkembang pontren yang diarahkan pada pengembangan keterampilan dan pertanian. Setidaknya ada tiga ciri yang dengan mudah kita menemui itu pesantren atau bukan.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan ciri pertama setiap pontren dalam mengembangkan Islam selalu mengajarkan paham Islam yang moderat, tasamuh, Islam wasatiyah yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah waljamaah.

Kedua, ciri pontren itu dalam melihat, memahami lalu meng-hukumi (membuat hukum) sesuatu dilandasi kesadaran diri bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki suatu yang hak mengatakan yang paling benar. 

“Ada jiwa besar yang dikembangkan pontren bahwa meskipun kita meyakini bahwa yang kita pegangi itu benar, tapi tetap terbuka kemungkinan pendapat lain di sana ada potensi kebenaran juga. Ada jiwa besar dan nilai yang ditanamkan bahwa kebenaran itu tidak mutlak milik kita saja,” kata Menag seperti dilansir Kemenag.go.id, Kamis (29/5). 

Menurutnya, ada kebesaran jiwa, hatta seorang ulama besar Imam Syafii mengatakan,“meskipun aku meyakini pendapatkulah yang benar, tapi dengan rendah hati ia mengatakan boleh jadi pendapat yang aku yakini mengandung hal-hal yang boleh jadi salah, sebaliknya menskipun pendapat orang lain itu salah, tapi boleh jadi yang aku anggap salah itu di sana termuat ada potensi kebenaran. 

Dalam pandangan Menag, itu yang dibangun pontren, sehingga santri dan kiainya tidak mudah menyalahkan orang lain, mengkafirkan sesama. Dan itulah sesungguhnya yang dibangun, karena pada setiap manusia ada keterbatasan diri, sehingga Allah menciptakan keberagaman. Keberagaman adalah anugerah Tuhan, dan karena keterbatasan sehingga bisa saling melengkapi. 

Hikmah lain di balik keragaman, lanjut Menag,  adalah memudahkan kita mencari pandangan lain. Cara kita mensikapi keragaman dengan cara tawasut, tawazun, bukan saling menegasikan satu sama lain. “Keragaman harus dilihat dengan kelembutan dan kasih sayang. Pontren memiliki kontribusi dalam pembentukan karakter Islam,” kata Menag. 

Ketiga, pontren pasti mengajarkan santrinya untuk wajib mencintai tanah air.  Ini wujud dari ajaran hubbul wathan minal iman. Hanya di daerah atau negara yang tidak bergolak, yang penuh damai, maka nilai dalam syariat Islam bisa ditegakkan, jadi syarat untuk menunaikan ajaran Islam, adalah kondisi negara yang aman.

“Itulah mengapa cinta tanah air bagian dari iman. Nasionalisme ditanamkan di pontren,” tandas Menag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement