Senin 09 Dec 2013 16:26 WIB

Dakwah yang Efektif

Dakwah
Foto: wordpress.com
Dakwah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anjar Fahmiarto

Islam adalah agama damai. Agama ini melarang perbuatan keji dan anarkis yang merugikan kepentingan orang lain.

Islam bukanlah agama yang disebarkan dengan pertumpahan darah dan kekerasan. Sebaliknya, agama ini disampaikan lewat bahasa cinta dan kasih sayang.

Karena itu, stereotip dan tudingan Islam adalah agama teror sama sekali tidak berdasar. Islam sangat melarang umatnya menumpahkan darah sesamanya tanpa hak. Membunuh satu orang sama dengan menghilangkan nyawa puluhan, bahkan jutaan orang.

 

Aksi kekerasan dan terorisme yang sering dituduhkan media Barat terhadap Islam sangat penuh dengan kebohongan.

Ada agenda besar di balik rekayasa dan tuduhan keji tersebut. Intinya adalah ingin menyudutkan Islam dan umatnya. Bahkan, menghancurkan Islam.

Tengoklah apa yang terjadi dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa era Wali Songo dulu. Sekian ratus tahun lalu, para wali begitu bijak dan arif dalam menyampaikan risalah Ilahi ini.

Tidak ada paksaan dan kekerasan yang dilakukan. Sebaliknya, dakwah dilakukan dengan kelembutan hati dan cinta kasih.

Medium yang dipilih untuk menyampaikan risalah dakwah pun mencerminkan kelembutan, yaitu seni dan budaya. Inilah yang dipilih oleh Sunan Kalijaga.

Dan, terbukti dakwah dengan cara serta medium seperti ini efektif dalam mengambil hati masyarakat saat itu. Tidak ada perlawanan dan pertentangan yang berarti. Yang ada adalah dialektika budaya yang diselingi pesan-pesan keagamaan.

Penyebaran Islam dengan cara seperti itu juga dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia lainnya. Selain medium seni, dakwah juga dilakukan lewat perdagangan dan perkawinan.

Tidak ada yang dirugikan dengan pola semacam ini. Tidak ada kekerasan dan pertumpahan darah. Penyebaran Islam dilakukan bukan secara intervensi atau penguasaan dan memaksa, melainkan secara persuasif.

Orang yang mengenalkan Islam biasanya menyinkronkannya dengan budaya setempat. Hal ini membuat orang-orang tidak merasa apatis dengan Islam.

Islam mudah diterima oleh para pengikut Hindu sebelumnya karena ia tak mengenal kasta. Sedangkan untuk orang lokal yang tadinya menganut animisme, Islam lebih mudah diterima dan terus melekat karena kelogisannya pada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.

Sebagian besar Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Jika tempatnya strategis, seperti Gorontalo misalnya, akan menjadi tempat persinggahan para pedagang Muslim sebelum ia melanjutkan perjalanan perdagangannya.

Ketika Portugis menguasai Malaka, perdagangan ke wilayah Indonesia timur semakin berkembang. Para pedagang, terutama dari India, melakukan sinergi antara dagang dan dakwah di wilayah-wilayah yang dilaluinya. Jaringan perdagangan inilah yang membawa serta Islam berikut budayanya.

Jika di Jawa Islam disebarkan oleh Wali Songo dengan beragam media yang menarik, salah satunya dengan wayang, di Gorontalo dan kawasan Indonesia Timur lainnya caranya berbeda. Bahkan, ada perbedaan sangat signifikan dengan model penyebaran Islam di Jawa.

Di kawasan tersebut, Islam disebarkan dengan linguafranca. Islam mudah dijelaskan dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat setempat.

Ada tiga pola jalur masuknya Islam ke wilayah Gorontalo, meskipun pola ini sifatnya tidak linear. Ketiga pola ini tidak datang secara berurutan, tetapi membaur dan saling melengkapi sehingga membuat Islam dipercaya oleh hampir seluruh masyarakat Gorontalo.

Pola pertama adalah jalur perkawinan. Perkawinan antara Sultan Amai dan putri dari Kerajaan Palasa yang telah Islam, membuka mata Gorontalo bahwa ada yang bernama Islam dan pantas untuk dipraktikkan tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika sang raja telah memeluk Islam, hal ini kemudian diikuti oleh banyak rakyatnya.

Pola kedua adalah karena ekspansi Kesultanan Ternate. Meski tidak melakukan ekspansi secara teritorial, maksudnya berperang fisik dalam memperebutkan wilayah, pengaruh Kesultanan Ternate masuk ke Gorontalo. Salah satu buktinya adalah bahasa yang digunakan dalam adat di Gorontalo menggunakan bahasa Ternate.

Penyebaran Islam di Gorontalo ini terbilang unik. Islam justru bisa menjadi jembatan bagi jalur diplomasi antarkerajaan, dalam hal ini Kesultanan Ternate dan Gorontalo.

Pola penyebaran Islam di Gorontalo yang ketiga adalah adanya jaringan keulamaan. Para ulama sufisme, yang menurutnya lagi-lagi banyak berasal dari Ternate, banyak yang menyebarkan Islam di Gorontalo. Melihat nama-nama ulamanya, seperti contohnya Ju Panggola, adalah nama Ternate.

Proses masuknya Islam di Gorontalo berlangsung pada abad ke-16. Jika dilihat rute transmisinya, Islam datang karena adanya jalur perdagangan yang melewati Gorontalo ini.

Ada dua jalur yang bersinggungan dan banyak dilewati oleh pedagang India yang membawa agama Islam. Islam datang dengan dinamis di wilayah ini dan membuat banyak penduduk Gorontalo tertarik memeluk Islam.

Gorontalo tepat berada di persinggungan dua garis perdagangan maritim yang besar pada masa itu. Pertama, jalur dari Makassar yang di periode 1600 sebagai pusat ekonomi maritim di Sulawesi.

Dan, kedua adalah jalur Ternate yang melewati jalur Brunei. Kedua jalur ini menemukan titik perjumpaannya tepat di depan wilayah Gorontalo, tepatnya di laut Sulawesi Utara. Kedua jalur ini bertemu di Gorontalo dan langsung berhubungan dengan Selat Malaka.

Pola penyebaran Islam yang dilakukan di Gorontalo juga dilakukan di banyak daerah lainnya. Intinya, dakwah yang efektif menarik hati masyarakat adalah yang dilakukan dengan damai dan tanpa kekerasan serta paksaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement