Selasa 15 Jan 2013 17:46 WIB

Belajar Kearifan dari Wali Songo (2-habis)

Masjid Sunan Giri di Gresik,Jawa Timur.
Foto: Imam Budi Utomo/Republika
Masjid Sunan Giri di Gresik,Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Damanhuri Zuhri

Akulturasi seperti itu ia temukan pula ketika menyaksikan perkembangan Islam di Tual, Maluku. Dalam berdakwah yang dilakukan dengan arif, sebenarnya telah diketahui banyak orang. Dakwah seharusnya memang begitu.

Orang biasanya tidak selalu mau digurui, disalahkan, disinggung perasaannya, apalagi diolok-olok. Kesalahan yang dilakukan seseorang sekecil apa pun, yang bersangkutan tidak mau diungkapkan, apalagi di depan orang banyak.

Memang maksud berdakwah adalah ingin memberikan pengetahuan baru sebagai cara untuk mengubah perilaku, kebiasaan, dan juga keyakinan. Tapi, berdakwah tidaklah  selalu mudah membawa hasil. Orang pada umumnya menginginkan perubahan.

Dan, perubahan itu dapat diraih mana kala ada kesediaan untuk menerima informasi, pengetahuan baru, nasihat, dan sejenisnya. Namun pada kenyataannya, belum tentu orang mau diberi informasi, apalagi digurui atau diajari. Itulah sebabnya dalam berdakwah perlu kearifan.

Ketika datang ke Tual, Maluku, Imam mendapatkan pengalaman menarik tentang dakwah yang dilakukan seorang pimpinan Muhammadiyah. Dia menjelaskan,  dakwahnya dilakukan dengan cara bertahap dan tanpa menyalahkan apa yang dilakukan masyarakat sebelumnya.

Dia memberikan pengakuan, penghargaan, dan berusaha tidak menyinggung perasaan siapa pun. Dai Muhammadiyah ini paham bahwa siapa pun tidak mau dianggap salah apalagi bodoh.

Dalam hal pelaksanaan shalat tarawih, misalnya, dia mengakui sejak zaman sahabat dulu bilangan rakaatnya ada 20. Karena itu, tatkala para ulama di daerah ini membimbing umatnya menjalankan tarawih sebanyak 20 rakaat, tidak dianggap keliru.

Namun, dai Muhammadiyah ini usul, dengan alasan banyak jamaah yang berusia lanjut, dan juga anak-anak yang masih dalam taraf pelatihan, jumlah rakaat dalam tarawih diusulkan hanya delapan rakaat. Dikatakan, Nabi menurut Aisyah, pernah shalat sampai semalaman hingga kakinya bengkak. Tapi, juga pernah shalat tarawih hanya delapan rakaat.

Melalui penjelasan yang simpatik dan bahkan juga dibarengi dengan empati seperti itu, ternyata masyarakat menerimanya. Tapi, sekalipun tarawihnya hanya delapan rakaat, bacaan shalawat di antara salam setiap dua rakaat masih dilakukan.

Demikian pula doa qunut, wiridan, dan juga berdoa bersama tetap dipertahankan. Rupanya pengenalan terhadap paham Muhammadiyah yang dilakukan secara bertahap dan tanpa ada pihak yang merasa diabaikan, bisa diterima dengan baik tanpa menimbulkan gejolak.

Mendengar penjelasan itu, Imam merasa mendapatkan pengalaman baru. Dengan pendekatan itu maka masyarakat tetap bersatu. Bahkan rupanya, identitas lama juga tidak terganggu. Masyarakat kemudian bisa menerimanya.

Andaikan cara-cara seperti itu dilakukan pada tataran yang lebih luas maka gesekan-gesekan antarkelompok umat Islam bisa dieliminasi sehingga persatuan umat akan terpelihara. Itulah pentingnya kearifan dalam berdakwah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement