Jumat 10 Aug 2012 22:50 WIB

Asal Mula Pensyariatan Azan (2-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Seorang muazin saat mengumandangkan azan di salah satu masjid di Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supri
Seorang muazin saat mengumandangkan azan di salah satu masjid di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Bilal bin Rabah (w. 20 H/641 M) diperintahkan Rasulullah SAW untuk menggenapkan bacaan azan dua-dua kali dan mengganjilkan bacaan ikamah, kecuali bacaan "qad qamatis salah (sesunguhnya salat akan didirikan)” yang harus dibaca dua-dua kali (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik).

Pada hadis lain dikemukakan bahwa setelah jumlah umat Islam meningkat, ada yang memberitahukan waktu shalat dengan suatu cara yang biasa mereka kenal dan ada pula yang menyarankan dengan menyalakan api atau memukul lonceng.

Mendengar hal itu, Nabi SAW menyuruh Bilal menggenapkan bacaan azan dan mengganjilkan bacaan ikamah (HR. Anas bin Malik dari Ibnu Umar). Hadis tersebut sekaligus menunjukkan bahwa azan berfungsi memanggil orang untuk melakukan shalat wajib lima kali sehari semalam.

Sementara untuk shalat jenazah dan shalat sunah lainnya, seperti salat Idul Fitri dan Idul Adha (salat id), salat kusuf dan khusuf (shalat gerhana), serta shalat istisqa, tidak dikumandangkan azan, namun diganti dengan kalimat 'as-shalatu jamiah'.

 

Ibnu Qudamah (ahli fikih Mazhab Hanbali) mengemukakan, disamping berfungsi sebagai panggilan untuk melakukan shalat berjamaah, azan juga dianjurkan untuk dikumandangkan kepada bayi yang baru lahir.

Rasulullah SAW sendiri melakukannya kepada cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. yang baru saja dilahirkan oleh Fatimah Az-Zahra (HR. Abu Dawud dan At-Tirmizi).

Dalam riwayat lain juga dikatakan, siapa saja yang melahirkan anak agar mengumandangkan azan di telinga kanan bayi dan ikamah di telinga kirinya agar ia terbebas dari godaan jin dan penyakit. (HR. Ibnu As-Sanni).

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement