Jumat 13 Jul 2012 23:34 WIB

Ensiklopedi Islam: Hisab dan Penentuan Awal Bulan (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Penentuan 1 Syawal dengan metodologi hisab (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Penentuan 1 Syawal dengan metodologi hisab (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama juga menaruh perhatian pada teori hisab. Mereka menerapkan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, bahkan dipergunakan pula untuk merumuskan sistem penanggalan (taqwim).

Di antara ulama yang tertarik untuk menentukan awal atau akhir Ramadhan dengan hisab ialah Ibnu Bana, Ibnu Suraih, Al-Qaffal, Mutraf, Ibnu Qutaibah, Ibnu Muqatil Ar-Razi, Ibnu Daqiq Al-Id, dan As-Subki.

Sedangkan dari generasi ulama masa kini (abad ke-20), yang menggunakan metode ini ialah Muhammad Rasyid Ridha dan Tantawi Jauhari.

Menurut Ibnu Bana, Ibnu Suraih, dan Al-Qaffal, hisab boleh digunakan dalam menentukan awal atau akhir Ramadhan jika pada akhir Sya’ban atau Ramadhan, bulan tidak dapat dilihat dengan mata karena tertutup awan.

Sedangkan As-Subki berpendapat, hisab digunakan hanya untuk menentukan awal Ramadhan ketika bulan tidak kelihatan, tetapi tidak digunakan untuk menentukan akhir Ramadhan.

Adapun Ibnu Daqiq Al-Id mewajibkan puasa dengan hasil hisab. Menurutnya, jika tertutup awan, wajiblah bagi ahli hisab menentukan awal atau akhir puasa Ramadhan dengan hisab. Puasa yang dilakukan atas dasar hisab adalah sah. Pendapat ini disetujui oleh Muhammad Rasyid Ridha dan Tantawi Jauhari.

Para ulama tersebut merujuk pendapat mereka berdasarkan hadis riwayat Muslim. Dalam hadis itu disebutkan perintah untuk berpuasa ketika melihat hilal. Bila hilal tak mungkin terlihat, kira-kirakanlah.

Arti kira-kirakanlah dalam hadis tersebut dimaknai dengan perintah mempergunakan hisab untuk memperhitungkan bulan jika bulan itu tertutup. Karenanya, di antara beberapa nama di atas, ada yang mewajibkan puasa atas dasar hisab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement