Jumat 09 Mar 2012 18:49 WIB

Menimbang Kembali Kasus Syekh Siti Jenar (I)

ilustrasi
Foto: islamickorner.net
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Pada abad ke-16 seorang wali Sufi harus menghadapi tuduhan sesat oleh Majelis Hakim kerajaan Islam Demak. Gara-gara tuduhan ini Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, sang wali, harus menjalani hukuman mati dengan tikaman sebuah keris yang konon milik Sunan Jati Cirebon. Referensi Islam Indonesia telah membukukan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sesat yang membangkang terhadap kepemimpinan Walisanga.

Istilah kafir, murtad, zindik dan atheis adalah tuduhan yang akrab dialamatkan kepadanya. Bahkan, dia telah menjadi simbol tokoh pembangkangan terhadap sistem yang telah dianggap absah. Itu sebabnya, Syekh Siti Jenar dinisbatkan sebagai tokoh kaum abangan -- yang tak rela terhadap musnahnya ajaran nenek moyang setelah datangnya Islam.

Syekh Siti Jenar dianggap berdosa karena menyebarkan faham wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti) kepada masyarakat yang waktu itu masih tergolong awam. Lebih fatal lagi adalah ucapannya Ama al-haq (Akulah Al-haq) -- sebuah pernyataan yang menyebabkan Al Hallaj dihukum mati.

Karena alasan inilah maka DH Kraemar menjulukinya Al-Hallaj dari Jawa. Berikutnya -- terutama oleh para penulis Belanda seperti Rinkes dan Zoetmolder -- Siti Jenar disebut-sebut sebagai penganut Syi'ah, beraliran Jabariah dan Qadariah (Rinkes, ''De Heiligen van Java'') serta pengikut tarekat Rifaiyah (Zoetmolder, ''Pantheisme en Monisme'') Bahkan Kraemer dalam ''Een Javaansche Primbon'' menempelnya sebagai musuh dalam selimut bagi Islam. ''Sering kali dari balik pikiran-pikirannya yang pantheistik, yang berkedok istilah-istilah Islam, terasa sekali polemik yang tajam menyerang Islam secara diam-diam,'' tulis Kraemer.

Syahdan, dalam satu diskusi periodik yang dilakukan Majelis Walisanga, Syekh Siti Jenar melontarkan buah renungannya yang kemudian dikenal sebagai konsep Syahadat Mutaawwila atau lebih dikenal Sasahidan. Konsep ini berakar padfaham wihdatul wujud, sebuah faham tasauf yang menjadi trade mark para wali waktu itu. Sasahidan adalah tafsir Siti Jenar terhadap Alquran surah Thaha ayat 14 yang berbunyi: innany anallaha la ilaha illa ana fa'buduny. Wa aqimish-sholaata li dzikri  (Sesungguhnya AKu ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku).

Syahadat mutawwila yang bunyi lengkapnya Asyhadu anla ilala illa huwa (Tidak ada Tuhan selain Dia), menurut Siti Jenar merupakan pengejawantahan atas surah Thaya ayat 14 tadi. ''Aku'' dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai kehidupan kita sendiri. Sehingga, bernafas pun dianggap sebagai ibadah kepada Sang Pencipta. Dalam kerangka filosofis ini Siti Jenar memandang kehidupan di dunia adalah sesuatu yang semu atau palsu. Sedangkan kehidupan sebenarnya adalah alam akhirat, karena di situ manusia hidup kekal. ''Mila dunya punika dudu aran idup, pratandane sira pejah, aneng donyo ingaran pati,'' kata Siti Jenar.

Diskusi periodik Walisanga ini terekam dalam kitab ''Pananggalaning ngilmu'' sebuah kitab majmu yang berisi kumpulan wejangan para wali peserta diskusi. Sunan Giri misalnya mengulas tentang Ananing Dzat (Keadaan Dzat), Sunan Gunung Jati tentang Kasentosaing Iman (Kesentosaan Iman), Sunan Kalijaga mengulas soal Tata Malige ing Baitul Mal. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai pembahas soal Sasahidaning Dumados (Kesaksian dari Kejadian atau Mahluk).

Masih dalam paradigma filosofisnya, Siti Jenar berprinsip tidak terlalu menekankan simbol formalisme dalam mencari kebenaran. Sikap tunduk dan patuh pada Yang Benar itulah yang menurutnya hakikat ajaran agama yang oleh Alquran disebut sikap Al-Hanief.

Siti Jenar yang nama aslinya Sayyid Ali Anshar ini juga membenarkan adanya kesinambungan dan persatuan agama-agama samawi atau yang disebut wihdatul adyan. Sikap intelektual inilah yang mendorong Siti Jenar mengeluarkan statement yang dianggap kontroversial: ''Jangan banyak semu. Aku inilah Allah, Aku bernama Prabu Satmata dan tiadalah yang lain dengan nama ketuhanan'' (''Walisanga'', Solochin Salam). Babak berikutnya, tokoh ini hanya dikenang sebagai Wali yang diqishosh (hukum mati) oleh sesama wali lainnya.

Melihat konteks situasional di atas, merasa perlu menggarisbawahi sebuah vonis dan tuduhan yang telah ditulis para pelopor sejarah Syekh Siti Jenar. Memang, sementara ini ada kesan, sejarah Walisanga adalah ''Ruang Keramat'' yang setiap orang merasa tabu memasukinya, apalagi bertingkah nyleneh. Sehingga, dapat dipahami jika sepanjang masa selalu muncul kontroversi pemikiran keagamaan, bahkan menjadi fenomena yang menyejarah.

Penulis: Walid Syaikhun

sumber : berbagai sumber
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement