Senin 28 May 2018 17:00 WIB
Belajar Kitab

Keutamaan Waktu

Islam menempatkan waktu sebagai perkara penting dan mendasar.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
ilustrasi merenungi waktu dan dosa
Foto: jart-gallery.blogspot.com
ilustrasi merenungi waktu dan dosa

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Konsep waktu dalam pandangan Islam tak sekadar menyoal perihal rutinitas kehidupan seharihari. Islam menempatkan waktu sebagai perkara penting dan mendasar sehingga jika tak dimanfaatkan dengan baik, maka kerugianlah yang akan diperoleh. Lebih dari kerugian materi, menyia-nyiakan waktu bisa berakibat terbengkalainya sisi akhirat seorang hamba.

Allah Swt berfirman dalam Kitab-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya, manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat- menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashar [103] : 1-3).

Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dengan semangat Surah di atas, “Waktu seperti pedang, jika tak ditaklukkan dengan baik, maka benda itulah yang justru akan menebas pemiliknya”. Sejatinya, waktu adalah makna dari hidup itu sendiri.

Pentingnya waktu, disadari dengan baik oleh para cendekiawan Muslim pada masa lalu. Hal itu dibuktikan dengan menghabiskan waktu yang mereka miliki. Tidak untuk beribadah semata, tetapi mendedikasikan pula hidup mereka untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Kepedulian terhadap waktu dituangkan juga dalam bentuk karya tulis, meskipun secara tidak spesifik mengupas tentang definisi, urgensi, dan langkah-langkah penggunaan waktu. Perhatian itulah yang mengilhami Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi menulis sebuah buku yang bertajuk Fadlail Al-Auqaat.

Inilah kitab yang mengupas tentang keutamaan waktu-waktu tertentu yang memiliki nilai penting dalam Islam. Meski begitu, dalam Islam tidak dikenal adanya pengultusan waktu atau hari, sebagaimana yang diyakini oleh Yahudi. Dalam kitab ini dibahas tentang pengutamaan hari atau bulan berkaitan dengan pahala yang dijanjikan Allah selama rentan waktu itu.

Latar belakang disiplin ilmu tokoh yang dikenal piawai di bidang hadis dan fikih memengaruhi corak kitab itu. Deretan karya yang pernah ditulisnya menunjukkan keahliannya menggabungkan dua cabang ilmu tersebut. Di antaranya adalah kitab Ma¡¯rifat As-Sunan Wa Al-Atsar, As-Sunan Al-Kubra, Al-Asma Wa As-Shiffat, dan At-Targhib wa At-Tarhib.

Corak serupa terlihat jelas pada kitab Fadlailyang pada dasarnya adalah karya yang memuat hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan bulan atau hari. Sekali lagi, tidak bertujuan untuk mengultuskan waktu atau hari tertentu. Intinya, dalam karyanya ini, al-Baihaqi hendak mengajak umat Islam menggunakan waktu-waktu tersebut sebaik-baiknya untuk beribadah.

Keutamaan Sya'ban

Sya'ban termasuk di antara bulan dihormati oleh Rasulullah. Salah satu cara penghormatan itu dilakukan dengan berpuasa di Sya'ban. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Salamah, ia bertanya kepada Aisyah perihal puasa Rasulullah. Menurut Aisyah, Rasulullah kadang berpuasa di bulan itu dan di lain kesempatan pula tidak menjalankannya.

Tetapi, Aisyah menegaskan, ia tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh, selain pada Ramadhan, kecuali di bulan Sya'ban, sekalipun yang intensitasnya tidak terlalu tinggi. Kadang, Rasulullah berpuasa Sya'ban penuh dan kadang tidak. Tindakan ini diambilnya agar tidak muncul anggapan dari umatnya bahwa puasa di bulan itu wajib hukumnya.

Dalam riwayat lainnya, dijelaskan alasan Rasulullah berpuasa di bulan Sya'ban. Hadis yang dikisahkan oleh Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah pernah suatu ketika ditanya, Puasa apakah yang lebih utama di luar puasa Ramadhan?¡± Rasulullah menjawab, Waktu berpuasa yang utama selain Ramadhan adalah puasa Sya'ban.

Berpuasa di bulan itu, menurut Rasulullah, sebagai bentuk penghormatan untuk menyambut Ramadhan. Alasan penting lainnya, berpuasa Sya'ban sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam riwayat Usamah bin Zaid amal ibadah Muslim diangkat dan ditunjukkan kepada Allah. Sayangnya, hal itu tidak diketahui baik oleh kebanyakan orang.

photo
Infografis Ramadhan

Lalu bagaimana dengan keberadaan hadis-hadis tentang keutamaan malam pertengahan Nisfu Sya'ban? Al-Baihaqi tak luput menyertakan keutamaan hari itu. Salah satunya adalah riwayat yang dinukil dari Mu'adz bin Jabal. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Allah SWT akan turun kepada hamba-Nya pada malam Nisfu Sya'ban, kemudian mengampuni mereka semua kecuali orang yang melakukan perbuatan syirik ataupun sihir. Riwayat lain menyebutkan, di malam itu Allah mengabaikan orang kafir dan para pendengki.

Kemudian, al-Baihaqi mengutip sebuah riwayat yang menyatakan tentang anjuran menghidupkan malam itu dengan berbagai amal kebajikan. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, Rasulullah bersabda, jika datang malam pertengahan Sya'ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasa di siang harinya.

Karena Allah SWT berfirman di masa itu, Adakah orang yang meminta ampunan? Maka, Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang mencari rezeki? Maka, akan Kuberikan kepadanya. Adakah orang yang meminta? Niscaya, Aku penuhi permintaannya. Ingatlah, kondisi itu berlangsung hingga fajar menyongsong.

Al-Baihaqi memaparkan pula hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan Ramadhan. Disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah, tatkala bulan suci itu tiba, maka pintu-pintu surga akan terbuka. Sebaliknya, pintu-pintu neraka akan dikunci. Dan, setan akan dibelenggu.

Dalam riwayat Abu Hurairah yang lain, Rasulullah mengatakan, tatkala pintu surga itu dibuka, seseorang memanggil dan menyampaikan seruan, ¡±Wahai para pencari kebaikan, bersegeralah, dan wahai para pelaku keburukan cukupkanlah. Al-Baihaqi memaparkan anjuran untuk memaksimalkan waktu beribadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Rasulullah senantiasa menghidupkan sepuluh hari terakhir dan mengajak segenap keluarganya. Al-Baihaqi memaparkan juga riwayat tentang jumlah rakaat shalat tarawih di masa Umar bin al-Khattab atau sesudahnya. Berdasarkan riwayat As Saib bin Yazid, kala itu, Umar bin al-Khattab memerintahkan Ubai Bin Ka'ab dan Tamim Ad Dari untuk menunaikan tarawih 11 rakaat.

Tetapi, surat yang dibaca adalah suratsurat yang memiliki jumlah ayat tak kurang dari 200 ayat. Bahkan, diceritakan pelaksanaan tarawih kala itu hingga mendekati fajar. Riwayat yang sama datang dari Aisyah. Riwayat dari Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa ia dan beberapa sahabatnya menunaikan tarawih dua puluh rakaat ditambah witir tiga rakaat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement