Sabtu 12 May 2018 22:46 WIB

Negara Non-Muslim Nikmati Keuntungan di Industri Halal

industri halal dunia terus berkembang pesat.

Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam satu dekade terakhir, industri halal dunia terus berkembang pesat. Nilainya diperkirakan mencapai tiga triliun dolar AS per tahun. Sayangnya, yang melirik potensi ini justru negara-negara non-Muslim.

Pendapatan paling tinggi dari industri halal ini justru dipegang oleh Thailand, ujar Prof Irwandi Jaswir dalam seminar mengenai sains halal yang diselenggarakan Ke menterian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam rangkaian Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Bandung, Jawa Barat, 3 Mei hingga 6 Mei.

Penghasil produk halal dunia juga dipegang oleh Australia dan Selandia Baru. Bahkan, produsen ayam halal diraih oleh Brasil. Sedangkan, Indonesia dengan jumlah Muslim terbesar di dunia menempati peringkat 11 dunia.

Koordinator Riset di Pusat Halal Industri Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur itu menambahkan, halal atau haram bukan hanya soal makanan dan minuman, melainkan juga wisata, rumah sakit halal, atau pelabuhan halal.Penyumbang terbesar dalam industri halal ada pada kosmetik dan obat-obatan.

Korea Selatan melalui budaya K-Pop berhasil memengaruhi dunia. Saat ini ada sekitar 2.000 perusahaan kosmetik di dunia dan Korsel berhasil meraih pasar 23 persen dunia. Sekarang mereka berlomba-lomba mengejar sertifikasi halal dan itu didukung Pemerintah Korea Selatan.

Jadi, kalau ke Seoul, banyak toko kosmetik halal, ujar dia. Jepang dalam menyambut Olimpiade 2020 juga melirik industri halal. Bahkan, jika kita ke Jepang, di Bandara Narita sudah ada surau atau mushala.

Jepang, kata Irwandi, beralasan sepertiga dari tamunya pada saat Olimpiade 2020 nanti adalah Muslim.Oleh karena itu, Jepang mempersiapkan diri.Industri halal ini bukan milik umat Islam saja.

Sakingsemangatnya, Korea dengan industri halal terkadang justru tidak logis. Ada delegasi Korea datang ke kami, membawa kotak. Biasanya kotak itu hadiah berisi ginseng.

Namun, ini bukan, isinya ternyata tanah. Jadi, ada dua provinsi di Korea itu yang ingin fokus pada pertanian halal. Jadi, mereka membawa sampel tanah untuk diuji kehalalannya, kata Irwandi sembari tersenyum.

Dua provinsi di Korea Selatan itu memastikan bagaimana menjadikan tanah itu halal karena tidak ada babi yang melintas dan sebagainya.

Irwandi menjawab bahwa tanah pada dasarnya halal. Jadi, tidak perlu ada sertifikasi halal.

Irwandi menyebut ada beberapa alasan mengapa industri halal berkembang pesat, yakni jumlah Muslim yang mencapai dua miliar jiwa di dunia, kemampuan ekonomi umat Islam yang meningkat, dan adanya negara-negara non-Muslim tapi memi- liki jumlah umat Muslim yang banyak, seperti India dan Cina.

Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia karena potensinya yang luar biasa. Namun, hal itu ditentukan oleh kebijakan pemerintah ke depan.

“Saran saya, jangan hanya fokus pada sertifikasi, tetapi pada industri halalnya itu sendiri, ujar Irwandi.

Untuk mendorong industri halal, ilmuwan yang akrab disebut sebagai profesor halal ini membuat lima hak cipta yang dipatenkan. Tiga dari jumlah tersebut sudah dikomersialkan, seperti E-Nose, alat pendeteksi kehalalan yang bisa dibawa ke manapun pergi. Bentuknya seperti pulpen.

Alat tersebut dapat mendeteksi kandungan etanol dengan mencelup- kannya pada minuman. Temuan lainnya, yakni antikanker dari rumput laut serta saat ini sedang mengembangkan gelatin halal dari sisik ikan, setelah sebelumnya sukses mengembangkan gelatin dari tulang unta.

“Kami juga mengembangkan alat pende teksi lemak babi,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement