Selasa 13 Mar 2018 16:24 WIB

Menjangkau Terminal Tafakur

Merenungi ciptaan Allah disela rutinitas baik untuk jiwa dan raga.

Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Zikir dan munajat kepada Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Luqman al-Hakim adalah sosok yang bijaksana. Kisahnya diabadikan dalam Alquran sebagai ayah yang menanamkan ketauhidan kepada anaknya. Bukti kebijakannya dalam menasihati menjadikan namanya diabadikan menjadi nama salah satu surah dalam Alquran.

Salah satu kunci kebijaksanaan Luqman adalah kegemarannya menyendiri. Ia adalah pribadi yang tahan berlama-lama duduk sendirian. Syahdan, suatu kala Luqman duduk menyendiri dalam bilangan waktu yang cukup lama.

Seorang temannya datang kemudian menegurnya, “Wahai Luqman, sesungguhnya kamu terus- menerus duduk sendirian. Maka jika saja kamu duduk-duduk bersama manusia, niscaya itu lebih menjinakkan kalbu bagimu.”

Sebuah senyuman tersungging dari bibir Luqman. Dijawabnya perkataan temannya dengan lembut. “Justru tidak,” ucapnya, “sesungguhnya lamanya sendirian lebih memahamkan bagi pikiran dan lamanya berpikir adalah penunjuk ke jalan surga.”

Bagi Luqman, duduk lama menyendiri bukanlah berkhayal dan panjang angan-angan. Luqman memahami jika duduk lama menyendiri yang paling bermanfaat adalah tafakur, merenung. Bahkan, boleh jadi duduk lama menyendiri dan larut dalam tafakur lebih baik daripada duduk ramai dalam majelis, namun tak menambah kepahaman.

Luqman telah mencontohkan salah satu cara menuju jalan ke surga dengan tafakur. Allah SWT sendiri menyuruh hamba-Nya untuk bertafakur sekaligus bertadabur mengenai ayat-ayat Allah yang bertebaran di muka bumi. Allah memuji orang-orang yang bertafakur dengan segala kondisi.

Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Selalu ada pit-stop dalam setiap perlombaan. Selalu ada tempat pemberhentian dalam perjalanan. Begitu pula hidup, mesti ada episode-episode yang berhenti sejenak. Kita berhenti sejenak untuk memeriksa perbekalan dan memastikan arah tujuan tidak melenceng guna mengambil napas panjang demi kehidupan di akhirat.

Tafakur adalah terminal pemberhentian sementara. Merenungi ciptaan Allah dalam bentuk manusia papa akan membangkitkan energi kesyukuran kita kala melihat ke bawah. Memikirkan bintang kemintang nan luas akan menghapuskan kebesaran rasa sombong kita. Membaca ayat-ayat Allah yang tersurat akan meluruskan niat-niat jahat yang terselip. Semua itu akan bermuara pada sebuah energi kebangkitan, energi untuk melanjutkan perjalanan pulang. Ia bisa berupa sabar yang mengakar, syukur yang berdebur, dan total dalam amal.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyifati tafakur dengan kunci segala nur dan dasar mencari penglihatan kalbu. Manusia, terang sang imam, hendaknya memeriksa empat perkara kala ia bertafakur. Pertama, tentang maksiatnya. Coba kita teliti setiap bangun tidur, apakah anggota badan kita melakukan maksiat kemarin? Coba periksa mulut, berapa kalimat candaan yang melukai hati saudara sendiri? Tanya kaki, melangkah ke tempat buruk atau ke tempat mulia dengan niat riya?

Lalu kita berpikir jika ternyata ada anggota badan kita yang melakukan hal-hal yang tidak disukaiAllah. Kita berpikir ada dalil-dalil dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya yang mengancam dosa-dosa yang tubuh lakukan. Kemudian kita berpikir bagaimana kita akan menjaga tiap jengkal tubuh kita dari perbuatan maksiat. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan duduk sejenak, bertafakur, meneliti, dan jujur pada diri sendiri.

Kedua, tentang perbuatan taat. Kita layak bertanya apakah shalat fardhu kita sudah sempurna kita tunaikan? Kita berpikir bagaimana menyempurnakan shalat fardhu dengan shalat sunah, kita berpikir tentang keutamaan dan fadilah berbuat taat. Pada akhirnya, kita memiliki azam yang kuat untuk tak absen pada ketaatan.

Ketiga, tentang sifat-sifat yang membinasakan. Imam Ghazali menerangkan, sifat yang membinasakan tempatnya di kalbu. Lantas kita harus bertanya, apa saja sifat membinasakan yang saat ini nyaman tinggal di kalbu kita? Sombongkah, iri, riya, kikir, nafsu syahwat, marah, atau buruk sangka masih berjubel menyesakkan kalbu.

Tafakur adalah diagnosis penyakit kalbu. Secepat kita tahu apa penyakit, kita lebih paham apa  obatnya.

Terakhir, berpikir tentang sifat-sifat yang menyelamatkan. Tobat, sabar, syukur, takut, harap, zuhud,  ikhlas, dan sifat-sifat yang menenangkan adalah penyelamat. Mengetahui sifat-sifat yang menyelamatkan ini penting. Kita harus memproduksi semua kebaikan dan menyediakan semuanya dalam gudang penyimpanan di hati. Lalu saat kita membutuhkan penawar, tinggal kita keluarkan sifat yang kita butuhkan saat itu.

Berbelanja sifat yang menyelamatkan akan ada hasilnya jika kita sudah memproduksinya. Bagaimana mungkin kita akan mengambil sifat sabar saat ditimpa musibah, padahal kita sama sekali tak mengenal bagaimana sabar itu bekerja.

Selamat datang jiwa-jiwa yang lelah di pemberhentian sejenak tafakur. Isi energi dengan kekuatan tafakur dan tadabur. Sebelum memulai lagi tugas besar mengurus bumi dengan hak perwalian sang khalifah.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement