Kamis 08 Mar 2018 10:43 WIB

Cholil Nafis: Pelarangan Cadar Berbenturan dengan Kebinekaan

jika radikalisme menjadi alasan pelarangan , maka erlu dibuktikan hasil researchnya.

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Larangan penggunaan cadar bagi mahasiswi yang diterapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menuai reaksi dari berbagai pihak. Pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis.

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia, KH Cholil Nafis berpendapat, jika radikalisme menjadi alasan pelarangan cadar tentu perlu dibuktikan hasil research-nya. "Kalau karena kesopanan, di kampus mana tak sopan dengan yang super ketat dan transparan. Pertanyaannya, mana letak kebinekaan kita? Mana letak nalar logika kampus Islam negeri Indonesia?," ujarnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (8/3).

Cadar itu dalam bahasa Arabnya niqab atau burqu', yaitu yg menutupi wajah kecuali mata. Sedangkan hijab adalah sesuatu yang menutup kepala dan seluruh badanya. Khumur adalah penutup kepala dan leher. Intinya adalah perangkat dari penutup aurat perempuan.

Secara teologis dasar dalil yang menimbulkan perbedaan adalah firman Allah surat An Nur: 31 : dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Kata zinah/perhiasan ini yang jadi pangkal perbedaan ulama.

Menurut Ibn Jabiir yang boleh tampak hanya baju dan wajah, All Auza'i hanya baju, wajah dan kedua telapak tangan, Ibnu Mas'ud seluruhnya kecuali bajunya. Ibnu Abbas hanya wajah dan kedua telapak tangannya. Imam Malik seluruh tubuh, wajah dan telapak tangannya aurat wanita

"Saya sepakat dengan fatwa Al Azhar bahwa wajah dan telapak tangan perempuan itu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Artinya, wajah dan telapak tangannya tak wajib ditutupi. Dalilnya hadits asma' binti Abi Bakar dan aurat wanita saat shalat tak wajib tutup wajah," ungkapnya.

Ia menambahkan, dalam ranah fikih khilafiyah boleh memilih dalil yang dianggap kuat untuk dipedomani. Namun, tetap menghormati perbedaan pendapat yang dianggap kuat dan dirasa lebih maslahah oleh orang lain. "Sehingga tidak tepat mencela apalagi melarangnya seperti di UIN Jogja," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement