Kamis 08 Mar 2018 10:13 WIB

Penggunaan Cadar Bentuk Khilafiah Harus Ditoleransi

Pelarangan ini telah melanggar hak asasi manusia, pasal 29 UUD 1945.

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas
Foto: RepublikaTV/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyayangkan sikap lembaga pendidikan yang melarang penggunaan cadar oleh mahasiswinya. Sebab, pelarangan ini telah melanggar hak asasi manusia, pasal 29 UUD 1945 terkait kebebasan beragama bagi tiap warga negara Indonesia.

Sekretaris Jendral MUI, Anwar Abbas mengatakan, peraturan yang dikeluarkan UIN Sunan Kalijaga kedudukannya lebih rendah daripada UUD 1945. "Lalu pertanyaannya adalah di negara kita ini ada hirarki hukum. UUD menempati posisi paling tinggi, UUD lebih tinggi dari peraturan menteri, wali kota, rektor," ujarnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Kamis (8/3).

"Jadi kalau misalnya warga negara ada yang memakai cadar ya negara harus menghormati itu. Atau dia tidak mau bercadar, negara juga harus menghormati itu," ucapnya.

Menurut Anwar, keputusan UIN Sunan Kalijaga juga merupakan hal yang bersinggungan dengan agama. Penggunaan cadar termasuk hal yang sifatnya khilafiah, maka perbedaan tersebut harus ditoleransi.

 

"Kami menghimbau supaya orang yang tidak bercadar harus menghormati orang bercadar. Dan orang yang bercadar harus menghormati orang yang tidak bercadar," ungkapnya.

Ia juga menekankan, cadar merupakan ajaran Islam. Sedangkan negara berhak melindungi warganya yang menjalankan ajaran agamanya. "Jadi seumpama ada warga negara ini yang merasa harus memakai cadar, negara harus menghormati itu," tuturnya.

Untuk itu, Anwar menyarankan, agar Rektor UIN menggunakan cara-cara yang lebih persuasif terhadap mahasiswinya yang bercadar. Sehingga, tidak membuat bangsa ini kembali berada dalam kegaduhan.

"Pernyataan rektor itu stigmatif sekali, mahasiswa saya juga banyak yang bercadar dan saya percaya mereka tidak seperti itu. Pertanyaan saya, kira-kira dia tersinggung gak? Maka berhati-hatilah memberikan cap kepada orang lain," ungkapnya.

Sebelumnya, Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Sahiron Syamsuddin mengungkapkan, pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis. Menurut dia, jika mahasiswinya tetap menggunakan cadar di dalam kelas, para dosen tentu tidak bisa membimbingnya dengan baik dan pendidiknya tidak dapat mengenali wajah mahasiswinya.

"Kalau di kelas mereka pakai cadar, kan dosen tidak bisa menilai apakah yang datang di kelas itu memang mahasiswa atau bukan," ujar Sahiron saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (6/3).

Sahiron menuturkan, pemakaian cadar bagi kaum wanita itu sebenarnya juga masih diperdebatkan di kalangan ulama, apakah itu merupakan ajaran Islam atau tradisi Arab. Namun, mahasiswi yang bercadar di kampus tersebut rata-rata tidak membaur dengan mahasiswa lainnya.

"Mereka pada umumnya tidak membaur dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain," ucap Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT) ini.

Dengan adanya pelarangan cadar ini, menurut Sahiron, rata-rata seluruh dosen UIN Suka setuju untuk diberlakukan. Jika mahasiswa tersebut tidak ingin dibina, mahasiswa tersebut akan diminta untuk pindah kampus. "Sebagian besar setuju (dosen UIN Sunan Kalijaga). Tapi, ya mungkin ada juga sedikit yang tidak setuju," kata Sahiron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement