Rabu 07 Mar 2018 09:45 WIB

Masjid dan Politik

pada masa Rasulullah tidak ada pemisahan mengenai agama dan politik.

Seorang polisi Prancis berjaga-jaga di sebuah masjid di Prancis. (ilustrasi)
Foto: EPA/Etienne Laurent
Seorang polisi Prancis berjaga-jaga di sebuah masjid di Prancis. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masjid adalah rumah Allah SWT. Berbagai ibadah bisa dilakukan di dalam masjid. Shalat wajib, shalat sunah, iktikaf, tilawah, hingga majelis ilmu. Menurut data Kementerian Agama, pada 2004 jumlah masjid di Indonesia mencapai 650 ribu.


Ratusan ribu masjid tersebut digunakan oleh berbagai macam organisasi Islam. Namun, ada yang berpendapat masjid-masjid harus steril dari kegiatan politik. Bagaimanakah hubungan masjid dengan politik?

Ketua Persatuan Ulama Dunia Syekh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, masjid pada zaman Rasulullah SAW adalah pusat kegiatan kaum Muslimin. Masjid tidak hanya digunakan untuk ibadah mahdhah seperti shalat, tetapi juga digunakan sebagai pusat pengetahuan, peradaban, dan gedung parlemen untuk bermusyawarah.

Semua utusan dari Jazirah Arab menemui Nabi SAW di Masjid Nabawi. Di masjid pula Rasulullah SAW memberikan khutbah, pengarahan semua masalah kehidupan mulai dari agama, sosial, maupun politik.

Ulama yang saat ini tinggal di Qatar ini menegaskan, pada masa Rasulullah tidak ada pemisahan mengenai apa yang sekarang disebut agama dan politik. Tidak ada tempat lain saat itu selain masjid yang digunakan untuk membahas berbagai masalah, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Intinya, Syekh Qaradhawi menuturkan, masjid adalah pusat dakwah sekaligus pemerintahan.

Di masjid pula Abu Bakar ash-Shidiq RA menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah. Pidatonya adalah gambaran manhaj (jalan) politiknya atau strategi pemerintahannya. Begitu pula dengan Umar bin Khattab RA saat terpilih menggantikan Abu Bakar.

“Wahai manusia, jika kalian melihat kebengkokan di diriku maka luruskankah aku”. Kemudian ada seorang pemuda menjawab, “Demi Allah, jika kami melihat kebengkokan darimu maka kami luruskan dengan pedang”. Umar pun memuji Allah dengan jawaban pemuda tadi.

Namun, saat zaman disebut semakin maju, Syekh Qaradhawi melihat ada reduksi fungsi masjid. Masjid terbatas hanya untuk menunaikan shalat dan khutbah yang di dalamnya terdapat materi-materi yang baku. Bahkan, jika ada ulama yang mengkritisi kebijakan pemerintah di atas mimbar-mimbar masjid, justru yang sering terucap adalah, “khutbah telah tercampuri politik”.

Padahal, saling menasihati adalah perintah Allah SWT. “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Syekh Qaradhawi menambahkan, pada abad ini masjid masih menjadi pusat kekuatan jika fungsinya secara utuh dilakukan. Ia mencontohkan, gerakan intifadah di Palestina lahir dari mihrab-mihrab masjid. Dalam jihad Afghanistan melawan Uni Soviet, masjid memiliki peranan yang tidak dapat disangkal.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement