Jumat 02 Mar 2018 18:22 WIB

Ulama dan Pesantren Berperan Bangun Masyarakat Beradab

Ulama berperan memberikan kekuatan dan menjadi perekat bangsa

Rep: Agung Vazza/ Red: Karta Raharja Ucu
Sidarto Danusubroto (kiri berkacamata), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Pesantren Alfalahiyyah.
Foto: dokumen pribadi
Sidarto Danusubroto (kiri berkacamata), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Pesantren Alfalahiyyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran para ulama dan pesantren masih diperlukan dalam membangun manusia religius yang memiliki spiritualitas, maju, rasional, meritokrasi, demokratis, toleran, bisa menerima perbedaan, dan berkepribadian Indonesia. Karena selain memberikan kekuatan yang menjadi perekat bangsa, juga merefleksikan wajah Islam yang membangun peradaban berazaskan rahmatan lil alamin yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Hal itu disampaikan Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) saat memberikan sambutan di acara Haul Al-Maghfurlah KHR Zamruddin di Pesantren Al-Falahiyyah, Sleman, Yogyakarta, Rabu (28/2). Acara ini diselenggarakan Pokja Toleransi bekerja sama dengan Pesantren Al-Falahiyyah.

Sidarto mengatakan, fakta sejarah menunjukkan selama ini di Indonesia, Islam mampu menyatu dengan kearifan lokal, tanpa harus mengakibatkan gesekan. Ia berkata inilah wajah Islam Indonesia yang tumbuh sejak berabad-abad silam, yaitu wajah yang terbuka, toleran, dan sadar akan kemajemukan. Di atas fondasi inilah semestinya dakwah Islam berpijak.

“Dalam realitas masyarakat yang bercorak multikultural, perihal cara berdakwah ini, Rasulullah telah memberikan tauladan dengan apa yang dalam sejarah Islam disebut sebagai Piagam Madinah. Masa itu, masyarakat Madinah terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Dengan piagam itu Rasul berhasil menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk," ujarnya.

Patut disadari, akar dari nasionalisme di Indonesia adalah tumbuh dari agama. Istilah 'hubbul wathan minal iman' merupakan benih perasaan nasionalisme bangsa Indonesia. Banyak negara-negara maju di dunia yang menerapkan sikap hidup 'berketuhanan' yang bukan hanya sekedar ritual, tetapi dalam perilaku sehari-hari. 

“Di negara Barat maju, bukan saja dalam teknologi dan industri tetapi juga dalam kemanusiaan, mereka memiliki program-program sosial negara kesejahteraan, bagaimana memuliakan semua yang hidup dan menjaga keseimbangan semesta,” ujarnya.

Anggota Wantimpres lainnya, Malik Fajar yang turut hadir memberikan tausyiah di acara tersebut mengatakan, Allah SWT sudah mentakdirkan manusia diciptakan secara beragam dari suku, bangsa, dan agama yang berbeda-beda. “Hal ini sebuah perbedaan yang harus diterima dan diyakini oleh umat Islam. Untuk itu kita perlu menjaga kerukunan antar umat beragama,” kata mantan mendiknas tersebut.

Sementara itu, Pancasila sebagai living values (nilai-nilai yang hidup dan tumbuh) masyarakat Indonesia, ternyata dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari masih belum optimal, termasuk dalam kehidupan bernegara saat ini. “Kita melihat adanya defisit nilai Pancasila yang tercermin dalam hampir setiap aspek politik, hukum, ketatanegaraan, hingga kesejahteraan rakyat. Ini yang sangat perlu kita bangkitkan kembali,” tutur Sidarto.

Karena itu, menurut dia, aktivitas berdakwah tentu boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi seorang penyeru jalan kebenaran, tidak dibenarkan merasa paling benar. Dalam sebuah masyarakat Islam, hak setiap individu sangat dihormati, termasuk hak orang-orang yang berbeda agama.

Sidarto mencontohkan, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam saat tinggal, hidup, berjuang dan berdinamika sekitar 10 tahun di Madinah. Di Kota Suci itu puncak kesuksesan dakwah beliau shalallahu alaihi wassalam. Maka sangat manusiawi ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam pun sangat mencintai Madinah yang sekaligus mencerminkan Nabi shalallahu alaihi wassalam mencintai tanah airnya, baik Makkah maupun Madinah.

“Ini menunjukkan cinta Tanah Air dan nasionalisme adalah fitrah dan naluri yang Allah SWT sematkan secara kuat di dalam diri manusia. Penolakan dan antipati terhadap kebangsaan/nasionalisme, justru bertentangan dengan fitrah suci tersebut dan tidak memiliki landasan sama sekali di dalam Islam, baik secara doctrinal maupun historical,” ujarnya.

Sidarto mengingatkan, belakangan ini banyak bermunculan konten negatif (ujaran kebencian dan hoax) yang disebarkan melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga grup-grup WhatsApp. Hal ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang berdampak pada kerukunan antar umat beragama di republik yang tegak di atas falsafah Bhinneka Tunggal Ika ini. Di titik inilah wajah Islam yang sejati harus segera disingkapkan melalui dakwah-dakwah yang menyejukkan.

Bagaimanapun, nilai-nilai kebhinekaan, kesadaran multikultural perlu ditumbuh kembangkan secara berkelanjutan. Berinteraksi dan bersikap toleran menerima dan menghormati segala perbedaan pada diri dan lingkungan sosial sekitar, tidak bersikap defensif dan diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda, mampu menjadi perekat kehidupan dan kebudayaan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement