Rabu 14 Feb 2018 06:41 WIB

Mr Crack 'Habibie' Menerbangkan "Islam"

Kemunculan ICMI pada 1990 telah membelah

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
BJ Habibie (Foto: Agung Supriyanto/Republika)
Foto: Agung Supriyanto/Republika
BJ Habibie (Foto: Agung Supriyanto/Republika)

  • REPUBLIKA.CO.ID, "Sulit mengatakan dengan pasti, apakah benar kata Leon Edel yang menulis Writing Lives, bahwa beberapa pengarang menulis tentang seseorang karena ia kagum dan 'jatuh cinta' kepada subjeknya. Namun, yang tidak dapat saya bantah bahwa tokoh yang saya tulis di sini adalah orang yang sudah bertahun-tahun saya kenal dan setiap hari bekerja dekat dengannya. Karena itu, sulit pula untuk memilah-milah unsur subjektivitas di antara keinginan memberikan objektivitas."

    -- Andi Makmur Makka dalam 'Mr. Crack Dari Parepare, Dari Ilmuwan ke Negarawan sampai Minandito'

    Sejak 1978 Andi Makmur Makka, biasa disapa Makka, mulai mengikuti Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Kala itu, ia menjadi karyawan Habibie di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Habibie juga menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) saat itu.

    Selama mengikuti Habibie, Makka merasa apa yang diucapkan, diorasikan, dan dipidatokan oleh suami dari Hasri Ainun Besari itu sangat inspiratif. Ia masih ingat bagaimana kesannya kepada Habibie dulu.

    "Tahun 1978-1979, ketika menjabat sebagai Menristek, dia bicara soal teknologi. Belum ada orang bicara teknologi (saat itu), saya tergugah," ujar Makka dalam peluncuran buku "Mr. Crack Dari Parepare, Dari Ilmuwan ke Negarawan sampai Minandito" di Perpustakaan Habibie dan Ainun, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (13/2).

    Karena itu, ia berkeinginan untuk mengumpulkan semua apa yang dikatakan oleh Habibie. Dalam mengumpulkan perkataan Presiden ke-3 Republik Indonesia itu, ia melakukan seleksi. Makka hanya mengumpulkan perkataan atau pernyataan yang memiliki gagasan.

    "Asal bukan pidato tertulis, itu inspiratif sekali," jelasnya. Dalam sambutannya, Makka mengatakan, Habibie ketika bicara memang tak pernah menggunakan teks. Habibie bicara langsung dan cara berbicaranya pun bertutur.

    Mulai dari keinginan itu, mantan Pemimpin Redaksi Harian Republika, hingga saat ini telah menelurkan setidaknya 46 buku tentang Habibie. Sebagai penulis tunggal, Makka sudah menulis sebanyak 16 buku. Terakhir, buku yang ia tulis sebelum buku teranyarnya ini terbit pada 2016 dengan judul "Habibie, Totalitas Sang Teknosof".

    Buku pertamanya sebagai penulis tunggal tentang suami dari Hasri Ainun Besari itu berjudul "BJH (Bacharuddin Jusuf Habibie) His Life and Career". Buku setebal 326 halaman itu terbit pada tahun di mana Diego Maradona mencetak gol "tangan tuhan" pada Piala Dunia Meksiko 1986.

    Tak hanya menjadi penulis tunggal, Makka juga berperan dalam hal lain terkait penerbitan buku tentang Habibie. Ia terlibat dalam 30 buku tentang Habibie sebagai inisiator penerbitan buku, editor, atau tim editor. Angka tersebut sudah termasuk buku barunya.

    Dengan banyaknya buku tentang Habibie yang mana Makka terlibat di dalamnya itu, ia pun diberikan sertifikat oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI). Sertifikat itu bertuliskan "Penulis Buku Terbanyak Mengenai Prof. Dr. Ing -BJ Habibie dan Karyanya".

    "Rekor ini bukan hanya rekor di Indonesia, tapi juga rekor dunia," ujar Osman Semesta Susilo sebagai perwakilan dari MURI saat memberikan sertifikat itu kepada Makka.

    Di karya barunya ini, ada cerita tersendiri mengapa Makka memilih kata "Mr. Crack" dalam judulnya. Makka diminta oleh penerbit untuk mencari apa identitas khas dari Habibie. Ilmuwan, kata mereka, terlalu umum. Makka harus mencari sesuatu yang lain daripada yang lain.

    Kebetulan, jelas Makka, rekan-rekan Habibie di Jerman punya panggilan khusus untuknya. Di sana, Habibie dipanggil "Mr. Crack". Asal-usul nama panggilan tersebut berasal dari kebisaan Habibie memecahkan sesuatu hal yang tak bisa dipecahkan oleh yang lainnya dalam teknologi penerbangan.

photo
Pesawat Boeing

"Yaitu bagaimana perlambatan retak apabila kapal bergoyang. Nah, itu dia selesaikan, tak ada yang selesaikan itu. Itulah yang dipakai Boeing, dipakai Airbus. Terutama Airbus ya karena dia bekerja di Jerman," ungkapnya.

Secara garis besar, buku ini berupa biografi seorang Habibie. Dimulai dengan asal-usul keluarganya hingga sepak terjangnya saat menempuh pendidikan, menjadi menteri, menjadi presiden, hingga masa setelahnya.

"Beliau selesai periode tahun 2000, 1999 kan berhenti (jadi presiden), dia melanjutkan pada 2000 itu mendirikan Habibie Center. Di situ, periode yang saya sebut di sini sudah mulai jadi begawan," terangnya.

Pada periode ini, kata Makka, Habibie sudah mulai menarik diri dari seluruh kegiatan-kegiatan politiknya. Akan tetapi, masyarakat seakan tak menganggapnya istirahat. Di rumahnya, Habibie selalu dikunjungi tamu sejak 2000 itu.

"Itu yang saya sebut di sini sudah periode begawan. Sudah melalui proses dari ilmuwan, jadi negarawan, kemudian menjadi presiden, kemudan terakhir dia kembali yang saya sebut minandito itu, kembali kepada masyarakat," tutur Makka.

Tak hanya sampai di sana, buku ini pun mengisahkan bagaimana Habibie mulai dekat dengan generasi milenial. Bagaimana anak-anak mulai memanggilnya dengan sebutan "eyang" dan bagaimana ketika dirinya dijadikan film pun ada di buku ini, buku yang melengkapi buku biografi yang juga pernah ia terbitkan pada 2008 lalu.

"Sangat banyak perubahan dan saya tulis. Di buku ini, ada 25 bab yang baru. Kemudian ada insert di bab-bab yang sebelumnya ditambahkan," jelas dia.

Pada kesempatan itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachry Ali berkesempatan untuk memberikan orasi. Dalam orasinya tersebut, ketika membaca bab "N-250 Menghilang, R-80 Terbilang" Fachry mengaku teringat peluncuran pesawat N-250, pesawat rancangan Habibie, pada 10 Agustus 1995. Kegiatan yang menyadarinya akan eksistensi Habibie.

photo
Pesawat Legendaris N250 karya BJ Habibie dipamerkan pada acara Bandung Air Show 2017 di kawasan Lanud Husein Sastranegara, Kota Bandung.

"Sambil meneteskan air mata, kepada kawan yunior saya, Prof. Dr. Bahtiar Effendy, saya berkata, 'saya melihat yang terbang mengapung di udara itu bukan pesawat, melainkan Islam'," kata Fachry.

Singkat cerita, Fachry menjelaskan apa maksud dari menerbangkan "Islam" yang ia katakan kepada Bahtiar Effendy itu. Pada 1995, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) baru berumur setengah dasawarsa. Kemunculannya pada 1990 telah membelah "kekuatan politik" nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler.

"Walau saya tak suka dengan frasa ini, namun penggolongan bersifat dikotomis ini bisa memberikan kita pegangan untuk melihat apa arti keberhasilan peluncuran pesawat N-250 itu dalam konteks 'politik budaya' kala itu," jelasnya.

Walau hanya sekadar "akomodasi non-politik", kata Fachry, kemunculan kekuatan politik Islam Nasionalis awal 1990-an itu telah menimbulkan reaksi kaum nasionalis sekuler. Itulah yang menyebabkan terjadinya pembelahan politik nasional.

Menurut Fachry, dalam keterbelahan politik tersebut, Habibie tampil memberi "isi" atas kebangkitan kelompok nasionalis Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia mengungkapkan, hal itu tentu sangat berbeda dengan gambaran kelompok "Islam" masa lalu. Islam masa lalu ditandai keterbelakangan dalam bidang sosial-ekonomi, terlebih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Dalam konteks inilah saya menghayati melesatnya pesawat N-250 pada 10 Agustus 1995 itu bukanlah sekadar benda yang terbang, melainkan 'Islam'," ujar Fachry di ujung orasinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement