Sabtu 20 Jan 2018 16:01 WIB

Jaga Semangat Beragama dalam Industri Pariwisata

Hampir Semua Penduduk Asli Sasak Beragama Islam

Matahari terbenam di Pantai Kuta Mandalika
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Matahari terbenam di Pantai Kuta Mandalika

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- "Nanti akan dibuat permanen," ujar Sana, petugas satuan pengaman di Pantai Kuta Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tanpa ditanya.

Dia merasa perlu menjelaskan kondisi mushalla di pinggir pantai yang dijaganya dan tak jauh dari toilet umum. "Di sana tempat wudunya," ujar pria yang sudah bertugas 17 tahun itu, seakan paham wisatawan kebingungan mencari tempat wudu.

Tempat wudunya sederhana, khas Suku Sasak. Air dialirkan ke sebuah kendi, lalu jamaah mencabut sumbatnya untuk berwudu.

Mushalla yang sudah berdiri 11 bulan di Kuta Mandalika terbilang mungil. Mungkin selebar 2,5 meter dan panjang empat meter, bertiang bambu, beratap daun ilalang dan berdinding anyaman bambu. Lantainya susunan bata blok. Sangat sederhana.

Kehadiran mushalla itu kontras dengan pantai yang identik dengan pakaian mini, bikini, celana pendek, dada terbuka bagi pria, hedonisme, permisif dan lainnya.

Keberadaan mushalla sederhana itu menunjukkan upaya menjaga "ghirah" (semangat) beragama dalam industri pariwisata. Di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, semangat beragama merupakan hal biasa karena hampir semua penduduk asli Sasak beragama Islam.

Seribu Masjid

Masjid dan mushalla menjadi identitas sosial komunal. Hampir semua kelompok sosial di daerah itu memiliki mushalla atau masjid sehingga tidak heran jika Lombok juga dikenal sebagai daerah dengan julukan Seribu Masjid.

Pulau seluas 5.435 km persegi dan 96 persen penduduk beragama Islam itu memiliki 4.500 masjid. Jejak Islam dapat dilihat pada sejumlah masjid tua dan satu di antaranya tidak jauh (14 km) dari kawasan KEK Mandalika, yakni Masjid Kuno Rambitan di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.

Nur Alim (30), penduduk setempat yang dipercaya menjadi pemandu, mengatakan masjid berukuran 7 x 7 meter persegi didirikan pada abad ke-16 oleh Wali Nyatoq, pendatang dari Baghdad.

Masjid tua itu berbentuk persegi empat dengan atap berbentuk limas dari alang-alang yang diikat pada reng bambu, kasonya kayu lama dengan empat pilar utama dari kayu. Semuanya diikat, tanpa paku.

Aktivitas keagamaan, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, tarawih pada Ramadhan masih dilaksanakan rutin meski lantai masjid tetap pada aslinya, yakni tanah berlapis tikar. "Kami juga masih mengadakan maulid atau kegiatan lain, seperti pengajian khitan atau ada hajatan lainnya," ujar Nur Alim.

Suasana magis akan terasa di malam hari, karena masjid berdinding anyaman bambu itu tanpa penerangan listrik. Yang ada hanyalah penerangan lampu minyak yang digantung di salah satu tiang kayu.

Di dalam masjid juga masih ada bedug tua. "Kayunya masih asli, kulitnya yang sudah diganti," ucap Nur Alim.

Untuk masuk ke dalam masjid, ada pintu kecil dan rendah. "Tujuannya agar merendah ketika masuk ke rumah Allah. Kita harus merunduk," ujar Nur Alim.

Keberadaan masjid yang masuk dalam cagar budaya tersebut menunjukkan Islam sudah mengakar sejak lama di Pujut, Lombok Tengah.

Nurul Bilad

Bentuk masjid segi empat dengan atap berbentuk limas itu agaknya mengilhami bentuk Masjid Nurul Bilad yang dibangun di KEK Mandalika. Masjid megah yang peletakan batu pertamanya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno pada Sabtu (10/9/2016) itu dibangun di atas tanah seluas delapan hektare.

Nurul Bilad artinya cahaya bangsa-bangsa. Masjid ini adalah masjid terbesar di Kabupaten Lombok Tengah.

Dari jauh, bentuknya seperti piramid. Meskipun dua lantai, tetapi atapnya yang tinggi menjadikannya seperti piramida besar dengan atap berwarna cokelat bertingkat yang diperuntukkan sirkulasi cahaya. Tak hanya sirkulasi cahaya, masjid juga didesain dengan sirkulasi udara alami.

Ruang di lantai dua luas dan tanpa tiang dengan daya tampung 1.000 orang, sementara di plaza bisa menampung dua kali lipatnya.

Di samping bangunan masjid yang diresmikan Presiden Jokowi pada Jumat (20/10/2017) juga terdapat plaza utama dan fasilitas wudu yang memanjang dengan akses jalan bagi penyandang disabilitas.

Tempat parkir juga luas dengan gerbang pintu masuk segi empat yang masif. Kompleks masjid akan dilengkapi bangunan serbaguna, taman budaya, alun-alun, serta areal komersial untuk usaha mikro kecil dan menengah. Jaraknya hanya sekitar 400 meter dari Pantai Kuta Mandalika.

Keberadaan Masjid Nurul Bilad memperkuat posisi Lombok Tengah, khususnya KEK Mandalika, sebagai daerah yang masyarakatnya religius. Wisatawan lokal dan mancanegara juga bisa menjadikan masjid tersebut sebagai tujuan wisata religi, di samping sebagai pusat pendidikan Agama Islam dan sarana sosial.

Hubbul Wathan

Kondisi tersebut agaknya sudah terjadi pada Masjid Hubbul Wathan Islamic Center di Mataram. Setiap hari halaman parkir masjid selalu diisi dengan mobil dan motor jamaah dan wisatawan untuk melihat masjid indah berwarna kuning dan hijau dan bermenara lima itu.

Kubahnya yang artistik mengingatkan pada model kubah di masjid-masjid di Turki, tetapi dengan warna yang khas Nusantara, yakni kuning dan hijau. Pada tradisi Melayu, kuning perlambang kejayaan dan kemegahan, sedangkan hijau merupakan warna tradisional Islam di Nusantara dimana organisasi dan perkumpulan Islam selalu menggunakan warna ini.

Kelebihan Masjid Hubbul Wathan yang atinya "cinta tanah air" Islamic Center Lombok pada menara utama setinggi 114 meter dan pada ketinggian 99 atau lantai 13 dibuat teras yang bisa diakses pengunjung dengan menggunakan lift. Angka 99 adalah perlambang dari asmaul husna, yakni nama-nama, gelar dan sifat-sifat Allah.

Dari menara ini, pengunjung bisa melihat Kota Mataram 360 derajat dengan mengelilingi teras lantai 13 seperti di Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Pada ketinggian ini, pengunjung bisa melihat kekhasan Kota Mataram dan Lombok, yakni masjid dan menaranya berserakan di sekeliling kota, terselip di antara rumah, toko dan sejumlah gedung.

Pengelola masjid yang didirikan di atas tanah 3,6 hektare dan mampu menampung ribuan jamaah itu memasang kaca plastik sebagai pembatas sekaligus pengaman karena tidak semua pengunjung terbiasa dengan ketinggian.

Dari menara masjid yang kini dikunjungi 3.000-5.000 wisatawan setiap bulan itu juga terlihat Gunung Rinjani, gunung tertinggi di Lombok, dan Gunung Agung di Pulau Bali jika cuaca cerah.

Zeni, petugas yang mengantar pengunjung mengatakan, teras tersebut bisa menampung 30-40 orang secara bergantian.

Ke depan, pengelola akan memasang beberapa teropong di putaran teras sehingga pengunjung bisaa melihat lebih detail Kota Mataram, Gunung Rinjani dan Gunung Agung lebih dekat.

Sensasi lebih menantang pada lantai sembilan menara karena tanpa kaca pembatas. Angin bertiup cukup kencang. Kelebihannya, dari sini terlihat kubah dan dan empat tiang menara masjid mengapitnya.

Ini adalah salah satu spot foto terbaik, terlebih lagi jika lensa foto HP diubah ke "mode" panorama.

Pada malam hari, wujud bagunan masjid yang diresmikan 12 September 2016 itu terlihat indah dengan lampu-lampu warna-warni yang bertukar silih berganti sehingga layak disebut sebagai "landmark" kota. Kondisi ini memperkuat image NTB sebagai tujuan wisata halal.

Hal ini juga agaknya yang ingin dipertegas Masjid Nurul Bilad di KEK Mandalika. Masjid sebagai simbol wisata halal dan mempertahankan ghirah beragama

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement