Senin 15 Jan 2018 21:17 WIB

Khawlah Noman, Gadis Belasan Tahun yang Terimbas Islamofobia

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Agus Yulianto
Khawlah Noman
Foto: REUTERS
Khawlah Noman

REPUBLIKA.CO.ID,  Nahas menimpa gadis kecil Khawlah Noman (11 tahun) ketika tengah berjalan menuju sekolah di Pauline Johnson Public School Toronto, Provinsi Ontario, Kanada, Jumat (12/1) pagi, lalu. Noman yang kala itu berjalan bersama adik laki-lakinya tak menyangka ada seorang pria yang muncul dari arah belakang.

Pria tersebut membawa gunting dan mencoba memotong hijab Noman. Dia pun berteriak dan berusaha melarikan diri. Sekitar 10 menit kemudian, pria itu kembali dan mencoba melakukan hal yang sama. Noman tidak terluka, tapi mengalami trauma. "Saya merasa sangat takut dan bingung, saya merasa tidak nyaman ada orang yang melakukan hal itu," ujarnya seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (13/1) waktu setempat.

Noman takut, tapi beruntung keluarganya terus mendukungnya. "Ini (pengguntingan hijab) mengerikan dan saya tidak menyukainya. Tindakan seperti ini harus berhenti," kata dia. Saat ditanya wartawan apa yang hendak disampaikannya kepada tersangka, dia pun menjawab, "Apa yang Anda lakukan salah. Anda seharusnya tidak bertindak seperti ini, apalagi saya masih kecil."

Juru Bicara Dewan Sekolah Distrik Toronto Ryan Bird mengatakan, staf sekolah menghubungi polisi dan ke - luar ga Noman setelah mengetahui kejadian itu terjadi. "Kami akan beker - ja sama dengan polisi untuk menawar - kan bantuan yang kami bisa," kata Bird.

Sambil menahan air mata, ibu dari Noman, Saima Samad, lega putrinya tidak terluka. Selama 25 tahun tinggal di Kanada, baru kali ini kejadian seperti itu terjadi.

Kepolisian Toronto, Kanada, kini sedang menyelidiki dugaan kejahatan kebencian yang terjadi pada Noman. Kepolisian menduga pria tersebut berusia 20 tahunan, berperawakan Asia, berambut hitam, berkumis, dan memakai kacamata.

Juru Bicara Kepolisian Toronto Jenifferjit Sidhu mengatakan tubuh gadis itu tidak terluka, tapi hijabnya sobek. "Ini mengejutkan, mengganggu, dan sangat menyiksa. Anak-anak yang mau pergi ke sekolah seharusnya tidak mengalami ini," kata Sidhu seperti dikutip dari CTV News.

Wali Kota Toronto John Tory juga mengungkapkan keterkejutannya. Dia mengatakan, tidak boleh ada anak yang takut berangkat ke sekolah di Toronto karena apa yang mereka kenakan. Dia dan semua penduduk Toronto bergabung menghadapi tindakan kebencian semacam itu.

"Intoleransi dan kebencian dalam bentuk apapun, termasuk Islamofobia, tidak memiliki tempat di kota kita, provinsi kita, atau negara kita," ujar Tory. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau ikut mengecam serangan tersebut. Menurut dia, aksi ini serangan terhadap agama yang dianut korban.

"Saya tidak bisa bayangkan betapa takutnya dia, saya ingin sampaikan padanya, keluarga, teman, dan komunitasnya bahwa ini bukan aksi yang akan dilakukan oleh Kanada," kata Trudeau dalam pidatonya di Ontario.

Selama ini, Kanada dikenal sebagai negara yang mendukung imigran Muslim. Trudeau dengan terangterangan menyebut pintu Kanada selalu terbuka untuk imigran. Dia menerima puluhan ribu pengungsi. Meski sikap Pemerintah Kanada cukup positif terhadap Muslim, tidak demikian dengan seluruh penduduknya.

Badan Statistik Nasional Kanada menyebut kejahatan berdasarkan kebencian di Kanada meningkat sejak 2013. Pada 2016, jumlahnya mencapai 1.409 kasus. Meski begitu, korban Muslim yang mengalaminya menurun. Menurut data kepolisian, Muslim yang mengalami aksi kebencian mencapai 139 kasus pada 2016, berkurang 20 kasus dibandingkan 2015.

Serangan paling kontroversial terjadi saat pria bersenjata menewaskan enam pria Muslim di Pusat Kebudayaan Islam Quebec. Insiden terjadi pada 29 Januari 2017. Insiden di Quebec tersebut menjadi yang terparah. Peningkatan sentimen anti-Muslim cukup terasa di sana. Quebec menjadi salah satu wilayah di Kanada yang menolak keberadaan Muslim. n ed: qommarria rostanti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement