Rabu 10 Jan 2018 05:51 WIB
Belajar Kitab

Bukan Sekadar Teguran

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Abu Manshur Abd Al Malik bin Muhammad bin Ismail menulis sebuah karya yang berkenaan dengan pengelolaan potensi yang ada pada diri seseorang. Melalui kitab yang berjudul As Syakwa Wa Al Itab Wama Waqa li Al Khillan wa Al Ashhab, tokoh kelahiran Nisabur, Iran, tersebut mencoba mengupas topik-topik itu. Guna mendukung ulasannya itu, sosok yang lebih dikenal dengan panggilan Ats Tsa’alabi tersebut mengonsep tulisannya secara sederhana. 

Dalam bukunya ini, murid dari ulama ternama, Abu Bakar al-Khawarizmi tersebut, menyajikan teks-teks keagamaan terkait sebuah teguran pada bab pertama. Menurut dia, sebagaimana yang terdapat di hadis riwayat Anas bin Malik RA, Rasulullah tidak pernah menegur—dalam konotasi negatif—selama ia tinggal dan membaktikan diri kepada Rasulullah. “Saya mengabdi kepada Rasulullah selama 10 tahun. Beliau tidak pernah berkata ‘uff’ , tidak pernah mencela apa yang dibuat, dan tidak pernah marah,” kata Anas yang dijuluki Khadim ar-Rasul (pembantu Rasulullah). 

Riwayat lain menyebutkan, kesalahan apa pun yang diperbuat tak sepantasnya disebarluaskan, sekalipun pelanggaran yang dilakukan adalah zina. “Jika pembantu perempuan kalian berzina, berlakukanlah had, dan janganlah kalian mempermalukannya (di hadapan publik),” demikian sabda Rasulullah. 

Menurut Abu Ad Darda’—seperti dinukil Ats Tsa’alabi — teguran santun di kondisi tertentu tetap dibutuhkan, tanpa menghilangkan arti sebuah hubungan atau mungkin, menafikan estetika pergaulan. Dengan teguran-teguran ‘bersahabat’ itu, diharapkan mampu mempertahankan hubungan yang telah terjalin apik. “Menegur saudara lebih mudah diban dingkan kehilangan mereka,” kata Abu Ad Darda’. Teguran harus menjadi prosedur pertama yang lazim dijalani sebelum dijatuhkan sanksi. Hal ini seperti dikutip dari Aus bin Haritsah. Ia pernah berkata kepada salah satu anaknya, “Teguran sebelum hukuman.”

Ats Tsa’alabi mengutip pula beberapa teks yang menegaskan pentingnya memperlakukan para budak dengan baik. Hadis riwayat Ali bin Abi Thalib menyebutkan kedudukan seorang budak di mata Allah. Budak ahli ibadah dan mampu memberikan nasihat yang baik untuk tuannya, dijanjikan- Nya termasuk salah satu golongan yang pertama kali masuk surga, selain para syahid. Wasiat berinteraksi yang baik kepada para budak juga ditegaskan oleh Rasulullah di akhir khotbahnya saat haji wada’. “Shalat, shalat, dan takutlah kalian atas Allah terhadap para budak,” kata Rasulullah di penggalan khotbah terakhir Beliau.

Di bagian lain, ulama yang wafat pada 429 H/ 1038 M itu menukil dalil-dalil yang menyangkut anjuran agar tidak bersikap malas dan menunda-nunda pekerjaan. Dalam hal berbuat baik, praktiknya tak selalu berupa amaliah yang berat. Adakalanya kebajikan itu adalah ucapanucapan ringan. Karena itu, tak ada alasan untuk tidak melakukannya. Bertasbih, salah satunya.

Diwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, ketika itu para sahabat sedang berkumpul bersama Rasulullah. Beliau pun bertanya, “Apakah kalian tidak mampu memperoleh seribu kebajikan setiap hari?” Sahabat lalu menimpali, “Bagaimana bisa sehari seribu kebaikan?” Beliau menjawab, “Bertasbihlah setiap hari 1.000 kali maka akan dicatat baginya 1.000 kebaikan sekaligus menghapus 1.000 dosa.” Imam Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Barang siapa yang menaati rasa malas maka ia telah menghilangkan hak-hak.”

Ats Tsa’alabi menyebutkan pula tentang perasaan rindu yang bisa menimpa sese orang. Konon, ketika Aisyah membebaskan budaknya, Barirah yang bersuamikan Mughits, seorang Habsyi, Aisyah memberikan pilihan kepada Barirah antara tetap bersama suaminya atau tinggal berpisah. Barirah kemudian lebih memilih tak lagi menyatu dengan suami.

Selang berapa lama, keduanya tak lagi bertemu, hingga keduanya saling bertemu saat thawaf bersama. Selama thawaf, air mata Barirah berlinang karena rasa rindu. Nabi SAW pun menanyakan kepada Bari rah, apakah ia ingin kembali lagi ke suami lantaran Beliau merasa iba dan prihatin. Bila keinginan itu benar, Rasulullah tak segan lagi mempertemukan dan mengikat mereka kembali. Namun, Barirah menolak. Betapa rasa rindu, juga sangat menyentuh perasaan Rasulullah. Al-Jahidz pernah ber kata bahwa rindu adalah istilah bagi rasa cinta yang berlebih, seperti halnya kata kemuliaan dipergunakan untuk menyebut kebaikan yang berlimpah, dan bakhil sebagai ungkapan bagi sikap eko nomi yang keterlaluan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement