Rabu 10 Jan 2018 05:14 WIB

Islam Memandang Sihir

Sihir
Sihir

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kata ‘sihir’ berasal dari bahasa Arab ‘ sahira-yasharu-sihran’, yang berarti tipu daya dan pesona. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, kata ‘sihir’ dipergunakan untuk menyebut jampi-jampi dan tangkaltangkal. Benda-benda dan bacaan khusus itu dipergunakan untuk tindakantindakan tercela dan aksi kejahatan secara umum. Di antaranya memalingkan hati seseorang atau merusak dan mengubah jasadnya, sehingga seseorang dapat bercerai dari suaminya, sakit, dan sebagainya. 

Sihir yang dilakukan oleh sahir—istilah bagi pelaku sihir— jenisnya bermacam- macam; ada sihir yang dilakukan dengan mantra-mantra, ada yang dilakukan dengan menggunakan bendabenda tertentu, dan bahkan tak jarang dilakukan dengan mempersembahkan sajian-sajian. Keberadaan aktivitas sihir diakui oleh Alquran, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 51. Terdapat kata ‘ aljibt’ pada ayat tersebut yang diidentikkan dengan sihir, sedang kata ‘ at-thaghut’ diartikan dengan setan . Aktivitas sihir oleh para penyihir juga diabadikan dalam Alquran surah al-A’raaf ayat 115-117. Ayat itu mengisahkan perbincangan antara Nabi Musa dan para tukang sihir yang melakukan tipu daya lewat tongkat yang mereka pakai sehari-hari. 

Islam memandang sihir sebagai perbuatan terlarang. Hukum melakukan sihir adalah haram. Hal ini karena perbuatan sihir itu sendiri mengandung kemusyrikan, terdapat unsur pelanggaran akidah, serta campur tangan setan. Tingkat keharaman sihir amat berat karena termasuk salah satu dosa besar. Penegasan ini sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Hadis lain menyatakan, para pelaku sihir dikategorikan dalam kelompok orang-orang musyrik, seperti yang dinukil An-Nasa’i dari Abu Hurairah. 

Tak sekadar balasan di akhirat kelak, Islam memberlakukan hukuman di dunia juga bagi para penyihir. Sebuah hadis riwayat at-Tirmidzi menyebut, sanksi bagi mereka ialah hukuman mati. Argumentasi ini diperkuat dengan atsar yang diriwayatkan Jabalah dari Umar bin Khattab. Secara umum, menurut Abu Sa’id al-Khadimi, dalil-dalil tersebut meng ungkapkan sanksi bagi penyihir ialah hukuman mati. Namun, sambung al-Khadimi, bila yang bersangkutan telah menyatakan pertobatan maka ia tidak dibunuh dan tobatnya diterima. Akan tetapi, jika ia mengingkari berbuat sihir, maka ia tetap dibunuh dan tobatnya tidak diterima. 

Sementara itu, Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, ilmu sihir tergolong disiplin ilmu tercela karena memberikan dampak kerugiaan, baik bagi pelaku maupun objeknya. Meskipun, pada dasarnya, ilmu itu sendiri tidaklah tercela, tetapi lantaran memberi mudarat atau kerugian, maka ia menjadi tercela. Demikian pula dengan hukum mempelajarinya. Ketika tidak dipergunakan untuk praktik kejahatan, maka awalnya tidak jadi soal. Setelah, beralih fungsi dan tujuan, maka berubah pula hukum dasarnya, menjadi tercela. 

Terdapat aktivitas supranatural lain di luar sihir, yaitu magis. Menurut Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, mengutip etnografi yang terperinci mengenai penduduk Mesir pada awal abad ke-19, terutama berdasarkan hasil pengamatannya atas penduduk Kairo, Edward W Lane menyebutkan bahwa kaum intelektual Muslim pada masa itu membedakan dua jenis praktik magis. Yang pertama, disebut ar ruhani atau magis spiritual yang didasarkan pada kekuatan misterius-supernatural yang dimiliki oleh agen spiritual seperti malaikat, jin, dan nama-nama tertentu Tuhan. 

Ar ruhani dianggap sebagai magis sejati yang terbagi lagi ke dalam dua tingkatan, yaitu magis tinggi yang mendasarkan kekuatannya kepada Tuhan dan magis rendah yang bersandar pada kekuatan setan. Magis tingkat tinggi yang bergantung pada kekuatan misterius Tuhan, malaikat, atau agen-agen spiritual yang baik lainnya selalu dipraktikkan untuk tujuan baik, seperti melakukan tindakan, menggunakan benda, atau kata-kata yang dianggap memiliki kekuatan magis untuk mencegah kemalangan. Dengan kata lain, magis tingkat rendah digunakan untuk maksud-maksud jahat melalui perantara iblis. Pelakunya disebut sahir, tukang sihir. Pembagian magis menjadi dua ka tegori ini sesuai dengan istilah magis putih dan hitam. 

Kedua, ada jenis al simiya atau magis alami, yaitu praktik magis dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti wangi-wangian, obat-obatan, tanpa melalui perantara kekuatan suprana tu ral. Lane juga membahas astrologi, geomansi, dan alkimia yang waktu itu po puler dan banyak dikaji oleh orang-orang Mesir. Ilmu-ilmu tersebut umumnya dianggap berbeda dengan magis. Terdapat praktik magis yang dilakukan secara luas, namun tidak didasarkan atas bentuk-bentuk magis atau “ilmuilmu” yang disebutkan di atas. Ilmu ini disebut ilmu al rukkah atau kebijaksanaan yang biasa dipraktikkan oleh wanita. 

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement