Jumat 05 Jan 2018 16:04 WIB

Bertetangga dengan Non-Muslim, Ini Fatwa Al Azhar Mesir

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Agus Yulianto
Muslim di Eropa mencoba menjangkau masyarakat non Muslim (Ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Muslim di Eropa mencoba menjangkau masyarakat non Muslim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, "Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mawaris".

Al Azhar Fatwa Global Center baru saja mengeluarkan fatwa terbaru menutup tahun 2017. Pada Ahad (31/12), pusat fatwa Al Azhar Mesir ini mewajibkan umat Islam selalu menjaga tetangga non-Muslimnya. Kaum Muslimin pun diminta memeriksa kondisi tetangga dan merawat mereka. Dalam pernyataan tertulis, pusat fatwa mengatakan Islam tidak pernah melarang umatnya menanyakan kondisi tetangga non-Muslim mereka.

Sebaliknya, Islam menjaga adab bertetangga dan selalu memuliakan mereka, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam pun mewajibkan setiap pemeluknya selalu berbuat baik kepada orang terdekat. Dilansir Egypt Today, fatwa tersebut muncul sebagai bagian dari kampanye solidaritas agar umat Islam kembali menyadari dan menunjukkan solidaritas pada saudara-saudara Kristen selama hari-hari besar mereka.

Hubungan bertetangga menjadi salah satu perintah dalam Alquran dan dicontohkan Rasulullah SAW. Setiap Muslim diminta untuk berbuat baik kepada tetangganya. "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS an Nisaa': 36).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Makna dari jari dzil qurba adalah orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Sementara, jaril junub adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah.

Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf al-Bakkali sehubungan dengan makna ayat: (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. Tetangga dekat yang dimaksudkan di sini, yakni tetangga yang Muslim. Sementara itu, (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Adanya riwayat ini menjadi rujukan bagi kita jika berbuat baik dengan tetangga harus dilakukan tanpa membedakan agama mereka.

Banyak hadis yang menganjurkan seorang Muslim untuk berbuat baik kepada tetangga. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi SAW bersabda, "Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya."

Nabi SAW bahkan melarang kita untuk menyakiti tetangga saat menjawab pertanyaan tentang kategori dosa yang paling besar. Dilansir dari HR Imam Ahmad, disebutkan tentang sahabat Ibnu Mas'ud yang bertanya tentang dosa paling besar. Rasulullah SAW menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Bila kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan bersamamu, bila kamu berzina dengan istri tetanggamu."

Banyaknya anjuran untuk berbuat baik kepada tetangga dan larangan untuk menyakitinya, membuat Nabi SAW sempat berprasangka jika Jibril akan menurunkan wahyu tentang hak mawaris bagi tetangga. Meski demikian, wahyu tersebut tidak datang. Hadis Riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abdullah Ibnu Umar mengungkapkan, Rasulullah SAW telah bersabda, "Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mawaris."

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan, ada ulama yang menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni tinggal di sekeliling rumah sejak rumah pertama hingga rumah ke-40. Ada juga ulama yang tidak memberi batasan tertentu dan mengembalikannya kepada situasi dan kondisi setiap masyarakat.

Namun, dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak dikenal namanya atau bisa jadi ada yang tidak seagama. Kendati demikian, semua tetangga wajib mendapat perlakuan baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya, menyampaikan belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya ketika mengalami kesulitan. Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada sahabat, Abu Dzar al Ghifari, "Wahai Abu Dzar, apabila engkau (keluargamu) memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan berilah tetanggamu." (HR Muslim).

Kisah dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri pun bisa menjadi rujukan bagi kita dalam bertetangga. Alkisah, dia menahan diri untuk tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi. Padahal, setiap hari rumah Imam Hasan terkena pembuangan air dapur rumah tetangganya.

Pada satu hari, Hasan Al-Bashri sakit. Tetangga Yahudi itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang menyeruak masuk ke dalam rumah sang imam. Sontak Yahudi itu bertanya, “Ini bau apa?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Air dari rumahmu.” “Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini terjadi?” Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, “Sudah 11 tahun.” Yahudi itu malu atas kesalahannya. Dia lantas berikrar untuk masuk agama Islam. Wallahualam. ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement