Rabu 03 Jan 2018 18:37 WIB
Belajar Kitab

Tuntunan Berhijrah

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Hijrah, ilustrasi
Hijrah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tak mudah untuk menda patkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagi seorang hamba, anugerah tak terkira ialah menda pat keridhaan Allah SWT, Tuhan Pencipta Alam Semesta. Ridha dari Sang Khalik adalah kunci dari kesuksesan tersebut. Untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan dan komitmen serius. 

Terkait hal itu, Ibnu Qayyim Al Jayuziyyah menulis sebuah risalah tentang seluk-beluk ‘berhijrah menuju Allah’, yang berjudul Zad al- Muhajiratau lebih dikenal dengan Ar Risalah At Tabukiyyah. Dalam risalah yang dirampungkan di Tabuk, 8 Muharram 733 H itu, tokoh yang mempunyai nama lengkap Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa’ad Zur’i ad-Damsyiq tersebut memaparkan segala hal yang berkenaan dengan ikhtiar ber hijrah kepada Allah dan Rasulnya. Buku ini meski ditulis ramping dan sederhana, namun memiliki muatan dan isi yang luar biasa. Ibnu Qayyim merumuskan sistema tika penulisannya ke dalam 11 bab singkat. Beberapa bab di antaranya diperluas melalui bahasan-bahasan subbab dengan menyertakan beragam argumen dan analisis yang tajam dan kuat. 

Mengawali karyanya, ulama kelahiran Damaskus, Suriah 691 H/1292 M itu memaparkan tentang bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Menurut dia, prinsip yang harus dijadikan sebagai dasar ialah konsep kebajikan al birrdan ketakwaan at taqwa. 

Dalam konteks berbuat baik dan saling membantu sesama manusia, memang ditegaskan di ayat 2 surah al-Maidah. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya.” Tetapi, konsep saling berbuat kebajikan dan bertakwa itu juga bisa berlaku antara seorang hamba dan Tuhannya. Karena itu, ayat ini juga bisa diterapkan dalam interaksi vertikal tersebut. 

Menurut ulama bermazhab Hanbali itu, dalam konteks tertentu, penggunaan kedua kata tersebut: al birrdan at taqwa, tidak bisa disamakan. Kata al birrmencakup semua bentuk kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari diri seorang hamba. Lawan katanya ialah al itsm, atau kejahatan. 

Dengan definisi ini, seluruh ke bajikan tak terkecuali iman dan tak wa dikategorikan al birr. Se dang kan yang dimaksud takwa, pada hakikatnya ialah melaksana kan semua perintah dan menjauhi la rangan-Nya. Jalan yang meng antar kan hamba menuju kesem purnaan dan ketakwaan. Itulah takwa. 

Thaliq bin Habib pernah meminta agar memadamkan fitnah dengan ketakwaan. Ketika ditanya, seperti apa takwa yang dimaksud? “Menaati Allah dengan cahaya-Nya, mengharap ganjaran, dan meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya, takut akan siksa,” kata Thaliq bin Thaliq, tokoh asal Basrah yang pernah dituding penganut ideologi Murjiah ini. 

Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Qayyim, konteks pemaknaan tolong-menolong bagi sesama hamba ialah meningkatkan rasa empati dan saling bekerja sama di berbagai hal kebaikan serta meninggalkan keburukan. Dalam konteks hubungan antara hamba dan Allah lebih berarti menaati segala perintah dan tidak terjerumus melanggar larangan-Nya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement