Rabu 03 Jan 2018 13:58 WIB

Ini Pesan dan Saran PBNU di HAB Kemenag RI

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj (kedua kiri) didampingi Ketua Steering Commite Muktamar NU Slamet Effendi Yusuf (kedua kanan), Sulton Fatoni (kiri) dan Ketua Bidang Pendidikan Arifin Junaidi memberikan keterangan pers (Ilustasi)
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj (kedua kiri) didampingi Ketua Steering Commite Muktamar NU Slamet Effendi Yusuf (kedua kanan), Sulton Fatoni (kiri) dan Ketua Bidang Pendidikan Arifin Junaidi memberikan keterangan pers (Ilustasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama RI (Kemenag RI) memperingati Hari Amal Bakti (HAB) ke-72 di Lapangan Upacara Kantor Kemenag, Jakarta pada Rabu (3/1). Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan pesan dan saran untuk Kemenag RI yang saat ini usianya telah menginjak 72 tahun.

Ketua PBNU KH Muhammad Sulton Fatoni mengatakan, Kemenag dibentuk untuk memberi alternatif baru terhadap pendekatan sistem bernegara. Kata dia, Indonesia bukan negara yang sekuler atau negara yang mendasar pada agama tertentu. Saat itu, ada aspirasi yang berkembang dengan Islam sebagai agama mayoritas.

Kemudian, ungkapnya, ada aspirasi-aspirasi lain yang membutuhkan sikap akomodatif dalam kerangka membentuk sebuah negara, maka muncullah Kemenag. "Jadi Kementerian Agama dibentuk untuk penegasan bahwa Indonesia bukan negara yang berlandaskan pada agama tertentu, juga bukan negara yang melepaskan diri dari urusan keberagamaan masyarakatnya," kata Sulton kepada Republika.co.id, Rabu (3/1)

Sulton menerangkan, dalam konteks kekinian, Kemenag harus memerankan dan mencerminkan negara dijalankan dengan nilai-nilai agama. Negara, kata dia, dikelola dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat dan budaya sebuah bangsa. "Negara sebuah institusi yang seharusnya memberikan hak-hak terhadap masyarakat untuk memeluk agama," ujarnya.

Karena itu, Sulton memberi saran, Kemenag sebaiknya menjalankan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tapi, yang tampak di Kemenag, menjalankan program yang masih berbasis kepada proyek. "Tidak berbasis kepada kepentingan masyarakat, sesungguhnya masyarakat memerlukan apa? Diwujudkan dalam sebuah program pemerintah yang seperti apa? Ini yang masih menjadi problem besar Kementerian Agama," ujarnya.

Contohnya pembelajaran di sekolah-sekolah. Sulton menerangkan, yang dibutuhkan bagaimana supaya siswa mendapatkan pembelajaran keagamaan yang substantif melalui kurikulum yang diolah oleh Kemenag. Tapi, menurutnya, saat melihat sekolah yang dikelola Kemenag saat ini, masih belum melihat karakter Kemenag sebagai institusi yang diberi amanah oleh negara.

Menurutnya, Kemenag seharusnya memberi proses pembelajaran substansi kepada siswa berdasarkan perspektif agama-agama yang ada. "Pendidikan yang dikelola Kementerian Agama masih jauh kalah kualitas dibanding pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, seperti pondok pesantren," ujarnya.

Dia menambahkan, Kemenag seharusnya memberikan warna yang spesifik, yaitu warna keislaman, kehinduan, kebuddhaan dan kekeristenan. Tapi, belum melihat proses ini berlangsung di Kemenag. Maka, proses pembelajaran substantif yang perlu ditingkatkan Kemenag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement