Jumat 29 Dec 2017 15:58 WIB

'Piagam Madinah Wujud Kebangsaan dan Nasionalisme'

Rep: Agung Vazza/ Red: Elba Damhuri
Wantimpres H. Drs. Sidarto Danusubroto (kanan), anggota  sedang menyerahkan cinderamata kepada KH Musthofa Aqil Siradj di Ponpes Al Ghadier, Kempek, Cirebon (27/12)
Foto: istimewa/Dok Al Ghadier
Wantimpres H. Drs. Sidarto Danusubroto (kanan), anggota sedang menyerahkan cinderamata kepada KH Musthofa Aqil Siradj di Ponpes Al Ghadier, Kempek, Cirebon (27/12)

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kegiatan memperingati  Maulud Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya merupakan momentum yang tepat untuk meneladani Rasululah dalam mencintai sesama dan semesta. Anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto mengatakan Nabi cinta kepada tanah airnya, baik Makkah maupun Madinah. Kebangsaan dan nasionalisme adalah sunah Nabi.

Cinta tanah air (nasionalisme), kata Sidarto, adalah fitrah dan naluri yang Allah sematkan secara kuat di dalam diri manusia. Sebaliknya, penolakan dan antipati terhadap kebangsaan/nasionalisme justru bertentangan dengan fitrah suci tersebut dan tidak memiliki landasan sama sekali di dalam Islam, baik secara doctrinal maupun historis.

"Akar dari nasionalisme di Indonesia adalah tumbuh dari agama," kata Sidarto pada tausiah Kebangsaan & Dzikir bersama para Kyai se-Jawa Barat di Ponpes Al Ghadier, Kempek, Cirebon, Kamis (28/12). Acara ini diselenggarakan oleh Pokja Toleransi bekerja sama dengan Pondok Pesantren Al Ghadier.

Sidarto mengatakan istilah hubbul wathan minal iman merupakan benih perasaan nasionalisme bangsa Indonesia. Metode penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secara damai tanpa meninggalkan budaya masyarakat yang ada. Nilai-nilai jati diri bangsa kita tertuang dalam Pancasila. Semangat nasionalisme inilah yang harus terus dipupuk.

Setelah hijrah, atas inisiatif stategis Nabi, terjadilah apa yang disebut oleh para sarjana sebagai Eksperimen Madinah, dengan produk monumentalnya berupa “Piagam Madinah (Konstitusi Madinah)”. Yang pasti, jelas Sidarto, Eksperimen Madinah ini telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal konsep pendelegasian wewenang.

Hal ini merupakan wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada dictatorial system, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi.

“Artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak berada pada selera keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati dan ditaati bersama oleh seluruh warga negara,” ujar Sidarto.

Esensi dari ide Eksperiman Madinah oleh Nabi Muhammad SAW, menurut Sidarto, adalah suatu tatanan sosial-politik yang diperintah bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat yang plural, yaitu sebuah “konstitusi”.

Konstitusi/Piagam Madinah adalah embrio dari masyarakat Madani.  "Inilah yang telah, sedang dan terus kita perjuangkan, kita jalankan dan kita jaga di Indonesia. Maka, merawat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945 adalah sama dengan merawat dan menumbuhkembangkan bibit peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditanam oleh Rasulullah SAW sejak 1439 tahun yang lalu,” ujarnya.  

Karena itu, Sidarto mengingatkan momentum Maulid Nabi Besar Muhammad SAW seharusnya bukan bersifat seremonial tahunan tanpa makna, melainkan pentingnya konteks berbangsa dan bernegara yang merupakan makna substansial dari peringatan Maulid Nabi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement