Jumat 29 Dec 2017 04:27 WIB

Mengapa tidak Bahagia?

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Djumaren dan keluarga sujud syukur setelah mendapatkan rumah cuma cuma dalam Ramadhan Rumah Impian (Ilustrasi)
Djumaren dan keluarga sujud syukur setelah mendapatkan rumah cuma cuma dalam Ramadhan Rumah Impian (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah tidak pernah mengukir tentang persepsi kebahagiaan seseorang dengan sesuatu yang berbau dunia. Faktanya tidak sedikit di antara para penguasa, pejabat, pengusaha, dan kalangan atas lainnya malah hidup menderita karena terlena dengan kemewahan yang dimilikinya. Kebahagiaan tercapai ketika seseorang mensyukuri setiap anugerah dari Allah SWT.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (Ibrahim: 7)

Dikutip dari buku yang berjudul ’99 Resep Hidup Rasulullah’ karya Abdillah F. Hasan bahwa selama hidupnya, Rasulullah SAW adalah manusia yang paling bahagia meski beliau hidup dalam kesederhanaan, malah sering kali kekurangan. Beliau biasa tidak makan kenyang hingga beberapa hari lamanya. Menurut Aisyah ra Rasulullah SAW tidak pernah kenyang sepanjang tiga hari berturut-turut.

Jika ingin, Rasulullah SAW dapat makan dengan kenyang, namun beliau selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Fatimah ra pernah mendatangi ayahnya dengan membawa sepotong roti yang kasar. Kata beliau kepada Fatimah ra, “Inilah makanan pertama yang dimakan ayahmu sejak tiga hari yang lalu.”

 

Hafsah ra  yang notabene adalah istri Rasulullah SAW pernah ditanya ayahnya, Umar ibn Khathab ra tentang kehidupan suaminya. “Ceritakan padaku tentang pakaian Beliau,” kata Umar. Hafsah menjawab, “Beliau hanya memiliki dua baju, warna merah yang biasa dipakai shalat Jumat.”

“Apa makanan Beliau yang paling lezat?” tanya Umar lagi. “Makanan Beliau yang paling lezat adalah roti dari tepung kasar yang dicelupkan minyak. Namun Beliau menikmatinya dan membagikannya kepada orang lain.”

Umar bertanya, “Bagaimana dengan alas tidur Beliau?” Hafsah menjawab, “Sehelai kain tebal. Saat dingin, kain itu dilipat dua, separuh untuk selimut dan separuh lagi untuk alas tidur dan saat panas kain itu dilipat empat.”

Mengapa hidup dalam keadaan demikian memprihatinkan, beliau tetap bahagia? Kuncinya adalah dengan selalu bersyukur. Orang yang bersyukur otomatis tidak pernah mengeluh karena hatinya lapang menerima setiap pemberian-Nya sekecil apa pun.

Penelitian tentang bahagia pernah diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology. Sang peneliti, Yuna L. Ferguson dari Knox College dan Kennon M. Sheldon dari University of Missouri menemukan cara mudah untuk mendapatkan kebahagiaan, yaitu pikiran dan niat untuk menjadi bahagia.

Penelitian ini membuktikan bahwa hanya dengan mencoba berpikir menjadi bahagia sudah cukup untuk meningkatkan rasa bahagia dalan hidup. Sehingga tidak harus memiliki banyak kekayaan atau kedudukan.

Bagi orang yang beriman, bahagia adalah bersyukur atas anugerah nikmat pemberian-Nya, meskipun sedikit. Dia akan berterimakasih tanpa mengeluh, sebab dia yakin bahwa Allah Maha mengetahui setiap kondisi hamba-Nya. Kesimpulannya bahagia itu hanya soal persepsi saja, lalu mengapa mensyaratkan harus memiliki kemewahan dunawi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement