Kamis 21 Dec 2017 17:45 WIB

Menangisnya Sang Khalifah

Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid.
Foto: Civilization.wikia.com
Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sebuah kisah menarik yang layak kita renungkan sebagai muhasabah diri. Harun ar-Rasyid, khalifah terbaik dari bani Abbasiyah, dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Kewibawaannya sangat disegani kawan maupun lawan.

Suatu hari, Khalifah Harun ar-Rasyid merasa gelisah. Padahal, kekuasaannya sudah begitu luas, harta dan kekayaannya berlimpah, istrinya pun cantik jelita. Namun, ia merasa ada yang kurang dari dirinya.

Khalifah pun kemudian memerintahkan para hulubalangnya mencari seorang ulama untuk memberikan nasihat kepadanya. Sudah beberapa ulama yang datang kepadanya, tetapi tak satu pun mampu menghilangkan keresahan hatinya. Setelah mencari sekian lama, akhirnya ada seorang ulama yang penampilannya sangat sederhana tetapi tampak berwibawa.

Awalnya, sang khalifah kurang menyukai penampilan ulama ini. Namun, karena ia sudah meminta, akhirnya sang khalifah pun mau meladeninya. Khalifah langsung berfokus pada tujuannya.

“Berikanlah nasihat terbaik kepadaku,” ujar Khalifah Harun ar-Rasyid. Sang ulama zahid ini pun kemudian menimpali, “Bukankah sudah banyak ulama yang memberikan nasihat kepadamu dengan dalil-dalil Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW?” “Betul, tetapi nasihat mereka belum ada yang bisa aku terima karena isinya tidak menyentuh hati agar aku semakin lebih baik,” jawab khalifah.

“Baiklah kalau begitu. Sebelum saya memberikan nasihat kepadamu, berikanlah saya satu gelas air putih agar bisa kita minum bersama,” ujarnya. Khalifah memerintahkan hulubalang kerajaan bersegera mengambilkan air putih dua gelas, yang satu untuk ulama dan satu gelas lainnya untuk dirinya.

Ketika air putih di dalam gelas itu sudah ada di depannya, Khalifah Harun ar-Rasyid mengajak sang ulama untuk meminum air putih tersebut. “Sebelum Anda meminumnya, bolehkah saya bertanya kepada Anda?” tanya sang ulama. Khalifah pun mempersilakannya.

“Seandainya Anda berjalan jauh di padang pasir yang sangat panas dan tandus, sementara Anda tidak membawa air minum dan Anda sudah sangat kehausan. Bila Anda tidak segera mendapatkan air minum, maka Anda akan mati kehausan. Di saat bersamaan, ada seorang musafir yang datang dan memiliki setengah gelas air. Berapa Anda akan membayar setengah gelas air itu agar Anda bisa tetap hidup?” tanya sang Zahid.

“Saya akan memberikan setengah kekayaan kerajaan untuk mendapatkan air itu agar saya bisa bertahan hidup dan selamat,” ujar khalifah mantap. Keduanya kemudian bersama-sama minum air yang sudah disediakan tadi.

“Kita baru saja minum setengah gelas air. Sekarang, seandainya air yang Anda minum tadi mengandung penyakit dan dapat menyebabkan kematian. Di saat bersamaan, ada seorang tabib yang mempunyai sedikit obat, tetapi harganya sangat mahal. Maka, agar Anda selamat, berapa Anda akan membayar obat tersebut untuk mengeluarkan setengah gelas air yang sudah Anda minum tadi?”

“Demi kesembuhan saya, maka saya siap menebus obat itu walau dengan setengah dari kekayaan kerajaan ini,” ungkapnya.

Khalifah mulai kesal, karena ia ingin meminta nasihat dari sang ulama tetapi justru pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. “Saya memerlukan nasihatmu, wahai ulama,” kata khalifah dengan tegas.

“Wahai tuan, sebenarnya saya sudah memberikan nasihat untukmu. Anda minum air, lalu Anda akan membayar setengah dari kekayaan Anda agar bisa tetap hidup. Lalu, Anda minum setengah gelas air, dan karena diduga mengandung penyakit yang dapat membahayakan hidup Anda maka Anda akan menebus obat yang Anda beli dengan harga setengah dari kekayaan Anda.” “Benar,” kata khalifah. “Lalu, nasihat apa yang engkau berikan padaku?” tanya khalifah lagi.

“Ketahuilah tuan, sesungguhnya hidup Anda, kekayaan dan kekuasaan Anda yang luas ini, harganya tidak lebih dari segelas air. Itu artinya, kita hidup harus banyak bersyukur atas semua anugerah yang diberikan Allah SWT."

Mendengar hal itu, maka menangislah sang khalifah.

Dari cerita di atas, sudah selayaknya kita banyak mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak muhasabah (evaluasi) diri, agar terhindar dari hal-hal yang tak berguna. Allahu a'lam.

Disarikan dari Islam DIgest Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement