Ahad 17 Dec 2017 04:15 WIB

Shalat yang Terburu-Buru, Bolehkah?

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Shalat khusyuk (ilustrasi).
Foto: blog.uns.ac.id
Shalat khusyuk (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pentingnya kedudukan khusyu, maka kehilangannya berarti rusaknya hati. Salah satu bentuk kekhusyukan adalah saat mengerjakan shalat. Dimana ibadah ini merupakan sarana besar dalam penyucian jiwa, sekaligus peresepan makna-makna kehambaan, tauhid, dan kesyukuran. Maka, khusyu dan shalat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dikutip dari buku berjudul ‘Mutiara Ihya ‘Ulumuddin’ karya Al-Ghazali bahwa penegakan shalat merupakan pemusnahan sifat angkuh dan pembangkangan terhadap Allah. Oleh karenanya, penunaian shalat secara sempurna dapat memusnahkan ujub, ghurur, bahkan seluruh kemungkaran dan kekejian.

“...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar...” (al-Ankabuut:49)

Shalat dapat memberi dampak seperti itu jika dikerjakan dengan sempurna dengan rukun-rukun, sunnah-sunnahnya, serta merealisasikan adab-adab zahir maupun batin. Salah satu adab zahir shalat adalah mengerjakannya dengan anggota tubuh secara sempurna. Sementara adab batinnya adalah kekhusyuan.

Kekhusyuanlah yang dapat menjadikan shalat memiliki peran penting dalam penyucian jiwa dan berperangai. Rasulullah SAW bersabda, “Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyuan.” (HR. ath-Thabrani dengan sanad hasan).

Allah juga menegaskan, bahwa kekhusyuan adalah ciri pertama orang-orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya.” (al-mukminun: 1-2)

Diriwayatkan dari Basyar bin al-Harits dalam riwayat Abu Thalib al-Makki dari Sufyan ats-Tsauri, “Barangsiapa tidak khusyu maka shalatnya rusak.”

Dan diriwayatkan dari al-Hasan, “Setiap shalat yang tidak disertai kehadiran hati, ia lebih cepat kepada hukuman,”

Mu’adz bin Jabal meriwayatkan, “Barangsiapa yang di dalamnya shalat masih mengetahui orang yang ada di samping kanan dan kirinya, maka tiada (pahala) bagi shalatnya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba menunaikan shalat tetapi tidak ditulis untuknya seperenamnya dan tidak pula sepersepuluhnya.”

Terkait hadits tersebut, Abdul Wahid bin Ziad berkata, “Para ulama sepakat bahwa seorang hamba tidak akan mendapatkan nilai dari shalatnya kecuali sebatas apa yang ia sadari dari shalat itu.”

Abdul Wahid bin Zaid menilai hal ini sebagai ijma’ atau kesepakatan para ulama. Dan pendapat-pendapat seperti di atas yang diambil dari kalangan ahli fiqih yang wara’i dan para alim ulama. Berbagai atsar (perkataan atau perbuatan sahabat atau tabi’in) mendukung persyaratan ini, hanya saja kedudukan fatwa dalam taklil (pembebanan) yang zahir diukur berdasarkan ketidakmampuan makhluk.

Oleh karena itu, sulit bagi manusia agar menghadirkan hati dari awal hingga akhir shalatnya kecuali dikerjakan oleh sedikit orang. Jika tidak mungkin, persyaratan kehadiran hati dari awal hingga akhir shalat karena darurat, maka hal ini tidak dapat ditolak.

Meskipun begitu diharapkan keadaan orang yang lalai dari awal hingga akhir shalatnya tidak seperti keadaan orang yang benar-benar meninggalkan shalat. Karena orang yang lalai dalam shalatnya itu secara zahir telah mengerjakan shalat dan menghadirkan hati sebentar saja.

Dengan demikian kesimpulannya shalat yang terburu-buru diperbolehkan dengan syarat dalam keadaan darurat, sebagaimana dijelaskan di atas. Kehadiran hati adalah ruh dalam shalat, maka kelalaian hati (tidak khusyu) adalah kebinasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement