Jumat 15 Dec 2017 12:39 WIB

Jakarta Paling Intoleran? Faktanya Urbanisasi Tinggi Lho

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agus Yulianto
Ribuan anggota dari berbagai ormas Islam berdoa bersama saat mengikuti silaturahmi akbar dengan tema Doa untuk Kepemimpinan Ibukota di Masjid Istiqlal, Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ribuan anggota dari berbagai ormas Islam berdoa bersama saat mengikuti silaturahmi akbar dengan tema Doa untuk Kepemimpinan Ibukota di Masjid Istiqlal, Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta acap kali disebut-sebut sebagai miniaturnya Indonesia. Di kota metropolitan ini, penduduk dari segala macam suku bangsa dan agama, hidup berdampingan. Tak heran, jika pluralitas di Jakarta juga dijadikan sebagai salah satu percontohan atau barometer dalam melihat kondisi sosial di negeri ini.

Sayangnya, beberapa waktu belakangan ini, masyarakat Indonesia disajikan dengan informasi yang memuat citra negatif tentang ibu kota republik ini. Informasi itu terkait dengan hasil riset Setara Institute pada 16 November lalu yang seakan-akan menggambarkan Jakarta sebagai kota paling tidak toleran di Indonesia. Benarkah demikian?

Dosen Sosiologi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Muhammad Sulton Fatoni berpendapat, menyebut Jakarta sebagai kota yang toleransinya paling rendah se-Indonesia, sama saja artinya dengan memvonis masyarakat Jakarta sebagai entitas yang asosial. Padahal, masyarakat Jakarta yang diinisiasi oleh orang-orang Betawi telah membuktikan bahwa mereka sangat menghargai perbedaan.

"Tanpa ada penghargaan terhadap perbedaan, tentu tidak akan terjadi urbanisasi, dan orang-orang pasti akan menghindari Jakarta sebagai tempat aktivitasnya," ujar Fatoni, Kamis (14/12) kemarin.

Menurut dia, Jakarta tidak akan menjadi pusat pemerintahan, pusat bisnis, dan kota sepenting sekarang ini jika masyarakatnya memang tidak toleran. Namun, dalam realitasnya, kota ini berhasil tumbuh menjadi kota yang multietnik, multikultural, dan menjunjung tinggi kerukunan umat beragama.

"Semua itu bisa terwujud karena kebesaran jiwa masyarakat Jakarta, terutama orang-orang Betawi, yang mau berbagi dengan kaum pendatang," tegasnya.

Meminjam analisis Yinger (1963), kata Fatoni, kemampuan masyarakat Betawi mengimplementasikan makna toleransi tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya yang berpedoman pada nilai-nilai agama, dalam hal ini Islam. Sebab, toleransi adalah jawaban agama di saat ilmu pengetahuan tidak dapat memberikannya.

Menyebut Jakarta sebagai kota intoleran, kata Fatoni lagi, tentu merupakan hasil riset yang kontraproduktif bagi citra Ibu Kota Negara RI di dunia internasional. Faktanya, keindahan Jakarta sampai hari ini masih terjaga; aura akademis masih terasakan; kebinekaan masih terawat; suasana bahagia sangat mudah didapat, dan; religiusitas masih tumbuh subur. "Jakarta bukanlah kota gawat darurat untuk urusan toleransi," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement