Jumat 15 Dec 2017 08:30 WIB

Lahirnya Baitul Maal

Rep: dia/sya/berbagai sumber/ Red: Agung Sasongko
Suasana kepadatan jamaah usai menunaikan shalat shubuh berjamaah di Masjid Nabawi, Madinah, Selasa (14/8). Kepadatan jamaah mulai berkurang karena sebagian jamaah sudah bergerak menuju Makkah.
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Suasana kepadatan jamaah usai menunaikan shalat shubuh berjamaah di Masjid Nabawi, Madinah, Selasa (14/8). Kepadatan jamaah mulai berkurang karena sebagian jamaah sudah bergerak menuju Makkah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Meski sebagian hasil rampasan dan pemasukan dari kharaj dan jizyah ini sudah dikeluarkan untuk membiayai pembangunan berbagai fasilitas umum serta ketertiban hukum di daerah yang ditaklukan, kelebihan dari semua hasil pemasukan itu masih sangat besar. Kondisi tersebut memaksa Khalifah Umar bin Khattab RA untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu.

Dalam beberapa sumber, dikisahkan bahwa sepulangnya dari menaklukkan Bahrain, Abu Hurairah RA menghadap Khalifah Umar dengan membawa uang 500 ribu dirham--jumlah yang sangat besar pada masa itu--sebagai hasil rampasan perang. Sejak saat itu, Umar membentuk lembaga keuangan khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah Baitul Maal.

Pada tahap awal, keberadaan Baitul Maal difungsikan sebagai tempat untuk menghimpun kelebihan dari hasil rampasan perang serta pemasukan dari pembayaran jizyah dan kharaj. Dari dana yang terkumpul di Baitul Maal ini, Khalifah Umar mulai menerapkan sistem pemberian tunjangan kepada orang-orang Arab pedalaman yang selama ini menjadi tentara pasukan Islam.

Pemberian tunjangan ini dimaksudkan agar para tentara tersebut dapat mengkhususkan diri dalam berjihad di jalan Allah, mereka bebas sepenuhnya melaksanakan tugas dakwah. Tujuan lainnya agar tentara Muslim ini senantiasa siap melaksanakan tugas dalam menegakkan agama Islam dan siap melawan tentara Persia, Romawi, dan lainnya.

Bersamaan dengan diberlakukannya sistem ini, Umar mulai menerapkan pelarangan pembagian tanah kepada tentara di daerah yang sudah diduduki supaya mereka tidak mementingkan mengolah tanah daripada berjihad.

Tidak hanya tunjangan bagi orang-orang dari kalangan militer. Baitul Maal ini juga mengurusi tunjangan untuk masyarakat sipil. Dalam beberapa sumber, lembaga tersebut digambarkan layaknya sebuah kantor registrasi yang mencatat dan menghitung orang-orang dari kalangan militer dan sipil yang harus mendapat tunjangan.

Tunjangan ini digunakan oleh masyarakat, antara lain untuk kegiatan perniagaan, pertanian, ataupun pengembalaan hewan ternak. Sebagian besar mereka menerima tunjangan itu dan mengembangkannya dalam perdagangan. Karena itu, mereka yang mendapat tunjangan cepat sekali memperoleh kekayaan, yang dapat dihitung sampai ribuan dengan kelebihan berlipat ganda.

Sistem lembaga keuangan yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ini diteruskan oleh kekhalifahan Islam yang berkuasa sesudah Umar. Di masa kekhalifahan Islam, dana Baitul Maal tersebut juga banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak. Sehingga, Baitul Maal ini memiliki peran besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah kekuasaan Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement