Jumat 08 Dec 2017 10:43 WIB

Sejarah Kiai Mustolih dan Masjid Saka Tunggal

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
 Penganut Islam Aboge saat shalat Id di Masjid Saka Tunggal Baitussalam Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas.
Foto: blogspot.com
Penganut Islam Aboge saat shalat Id di Masjid Saka Tunggal Baitussalam Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, tentu memiliki sejarah yang cukup panjang.  Terdapat beberapa teori yang menjelaskan kapan tepatnya Islam hadir di Nusantara. Sebagian menyebutkan Islam telah masuk ke Indoensia sejak abad ketujuh masehi. Ada pula yang mengatakan pada abad ke-13 Masehi.

Cukup lamanya Islam hadir di Nusantara terbukti dari sejumlah masjid kuno dan bersejarah di Tanah Air.  Contohnya, Masjid Ampel di Surabaya yang didirikan pada tahun 1421, kemudian Masjid Agung Demak yang didirikan pada 1474, dan Masjid Wapauwe di Maluku yang didirikan pada 1414.

Namun, selain ketiga masjid tadi, terdapat satu lainnya yang diduga menjadi masjid tertua di Indonesia, yakni Masjid Saka Tunggal yang berlokasi di desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah. Masjid ini dibangun pada tahun 1288 oleh seorang tokoh bernama Kiai Mustolih. Sudah cukup banyak penelitian yang membahas perihal Masjid Saka Tunggal. Penelitian tersebut dilakukan karena langkanya sumber referensi atau kitab-kitab yang mengabadikan informasi tentang masjid ini.

Dalam sebuah karya ilmiah berjudul "Fungsi Antropologis Masjid Saka Tunggal" (Studi Etnografi Pada Umat Islam di Aboge Banyumas) yang ditulis Teguh Trianton dan diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, diterangkan perihal eksistensi Masjid Saka Tunggal. Dalam penelitian tersebut diterangkan, Masjid Saka Tunggal secara antropologis tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal masyarakat Banyumas penganut Islam Aboge.

Menurut Teguh, eksistensi Masjid Saka Tunggal, bagi umat Islam Aboge, merepresentasikan kuatnya hubungan manusia dengan sesamanya. Hal tersebut tercermin dari ritus ganti jaro masjid, yakni sebuah upacara mengganti pagar yang mengelilingi Masjid Saka Tunggal yang terbuat dari bambu atau jaro. Dalam prosesnya, warga desa Cikakak secara gotong royong dan bahu membahu mengganti pagar bambu Masjid Saka Tunggal, dengan pagar bambu yang baru. 

Selain menjadi sarana ibadah kepada Allah SWT, ritual ganti jaro merupakan bentuk konkret fungsi Masjid Saka Tunggal sebagai pilar hubungan manusia dengan manusia lainnya atau hablum minanas. Selain warga setempat, upacara ganti jaro juga kerap diikuti oleh sejumlah utusan dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Dalam praktik peribadatan, Masjid Saka Tunggal juga memilki keunikan. Terutama, ketika masyarakat di sana melaksanakan shalat Jumat. Sebelum menunaikan salat Jumat, azan biasanya dikumandangkan oleh empat orang muazin secara serentak.

Mereka mengumandangkan azan tanpa menggunakan pengeras suara layaknya kebanyakan masjid di Indonesia. Tradisi mengumandangkan azan tanpa pengeras suara dan dilakukan secara serentak oleh empat orang muazin. Berdasarkan hasil penelitian Teguh, ini mengandung pesan moral, yakni agar dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebaiknya tidak bergantung pada pengunaan alat-alat. Sebab, Allah SWT, telah memberikan akal atau kecerdasan untuk menyelesaikan setiap persoalan secara arif.

Selain itu,  empat orang muazin tersebut membuat lantunan azan tidak hanya terdengar di sekitar area masjid saja, tapi juga menjangkau daerah sekitar tempat tinggal para jamaah. Dari aktivitas ini, menurut Teguh, terdapat nilai kesederhanaan, kebersamaan, dan kebersahajaan. Adapun sosok Kiai Mustolih, yang mendirikan Masjid Saka Tunggal, pernah dibahas dalam sebuah penelitian berjudul "Pertumbuhan dan Perkembangan Islam Aboge di Desa Cikakak, Wangon, Banyumas" yang diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta.

Dalam penelitian tersebut disebutkan, Kiai Mustolih atau akrab disapa Mbah Tolih, adalah tokoh yang menyebarkan ajaran Islam, sekaligus mendirikan desa Cikakak. Mereka juga meyakni, Mbah Tolih adalah putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Nama kecil Mbah Tolih dipercaya bernama Kian Santang. Kendati demikian, kepercayaan masyarakat di Desa Cikakak tersebut, seperti diterangkan dalam penelitian, belum bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Kiai Mustolih diyakini membangun Masjid Saka Tunggal ketika usianya sudah cukup sepuh. Dinamakan Masjid Saka Tunggal karena masjid tersebut memang hanya ditopang oleh satu pilar utama. Jadi, bisa dikatakan Masjid Saka Tunggal merupakan masjid dengan desain konstruksi yang unik.

Setelah sekian abad berselang, Masjid Saka Tunggal masih berdiri kokoh di Desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah. Dan kini, masjid tersebut juga menjadi salah satu destinasi wisata Islami di daerah Banyumas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement