Selasa 21 Nov 2017 18:45 WIB

Ini Alasan Muslim Prancis Shalat di Jalan Raya

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Muslim Prancis
Muslim Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pada 2011, mantan Menteri Dalam Negeri Prancis, Claude Gueant, pernah melarang umat Muslim menggelar Shalat di jalanan kota Paris. Saat itu, Gueant membubarkan jamaah yang tengah shalat di jalanan karena mereka tidak memiliki cukup ruang di dalam ruang ibadah. Gueant lantas mengizinkan mereka menggunakan barak pemadam kebakaran yang tak terpakai dengan kapasitas 2000 orang.

Langkah umat Muslim untuk melakukan shalat berjamaah di jalanan di pinggiran kota Paris bukan tanpa alasan. Selama delapan bulan, ratusan umat Islam berkumpul di depan balai kota setiap Jumat untuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah. Kaum Muslim ini merasa dirugikan karena sebuah masjid populer yang ada di pinggiran kota telah diubah menjadi perpustakaan sejak Maret lalu. Meskipun, ribuan orang berkumpul untuk beribadah di rumah ibadah tersebut.

Mereka menuduh pihak berwenang tidak menyediakan ruang beribadah yang memadai. Pejabat lokal memang berargumen bahwa ada sebuah masjid di utara kota yang bisa menampung kaum Muslim untuk bersembahyang. Namun, mereka mengatakan bahwa tempat itu tidak cukup besar dan sulit dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum.

Kepala Persatuan Muslim Clichy, Hamid Kazed, mengatakan bahwa umat Muslim tidak ingin shalat di jalanan. Namun, mereka harus menyampaikan pesan dan keluhan mereka kepada pihak berwenang setempat.

"Anda pikir ini adalah kemewahan untuk beribadah di jalanan?" kata Kazed, setelah konfrontasi dengan politisi lokal.

Seperti halnya Paris, para pejabat sebelumnya telah membahas soal beribadah di jalanan yang berlangsung di kota-kota bagian selatan di Marseille dan Nice. Yang mana, kedua wilayah itu memiliki populasi Muslim yang kuat.

Larangan shalat di jalanan juga sudah ada di tempat yang lain di Eropa. Di kota Bayern Muenchen, awal tahun ini kaum Muslim melakukan protes akan kurangnya keberadaan masjid di pusat kota dengan menggelar shalat di jalanan. Namun, aksi itu dibatalkan karena alasan keamanan. Pihak berwenang khawatir bahwa kelompok sayap kanan akan memobilisasi massa untuk menyerang para jamaah tersebut.

Namun di Prancis, upaya untuk menghentikan shalat di jalanan dilakukan untuk alasan yang sangat berbeda. Yang terjadi adalah, karena pertarungan antara penganut agama dan sekulerisme Prancis.

Prancis memiliki lebih dari 4,5 juta umat Muslim, yang mewakili sekitar 7,5 persen dari total populasi negara tersebut. Sementara di sana, integrasi kelompok minoritas masih menjadi isu nasional yang penting.

Pemilihan presiden tahun ini di Prancis menyinggung soal agama, khususnya Islam, yang menjadi inti perdebatan politik negara tersebut. Salah satu anggota partai Front Nasional yang berhaluan sayap kanan, Marine Le Pen, menentang globalisasi Islam. Sebelumnya, pemimpin sayap-kanan juga mencerca shalat di jalanan, dengan mengecam mereka sebagai 'invasi' Islam di masyarakat Prancis.

Pertarungan antara hukum sekular Prancis dan Islam terus berlanjut meskipun Le Pen kalah dalam pemilihan. Hal ini seperti demonstrasi yang dilakukan sejumlah politisi yang melarang umat Islam menggelar shalat di jalanan kota Paris. Sekitar 100 politisi lokal bertemu dengan para jamaah di Clichy.

Mereka menyanyikan lagu kebangsaan Prancis, mengenakan selempang dengan tiga warna Bendera Prancis, yakni biru, merah, dan putih. Dalam aksi mereka, para politisi tersebut seolah menegaskan bahwa tampilan agama semacam ibadah di jalanan itu tidak diterima di Prancis dan bukan sifat alamiah Prancis.

Ketegangan dan sentimen Anti-Muslim yang lebih luas ini telah meningkat setelah adanya tujuh serangan radikal Islam sejak Januari 2015 lalu. Serangan itu termasuk serangan Paris pada November 2015 yang diklaim oleh kelompok militan Negara Islam ISIS. Yang mana, setidaknya 130 orang tewas akibat serangan di ibukota Prancis tersebut.

Sebelumnya, terjadi penembakan dan serangan bom bunuh diri yang menargetkan wilayah yang merupakan jantung dari kebebasan dan demokrasi di Prancis. Yang mana, kelompok jihad kerap menargetkan serangan mereka terhadap gedung konser, bar, restauran, dan stadion sepakbola.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement